Sabtu, 18 Desember 2010

HAM dalam UUD 45

Catatan : Wiranto Partosudiryo

Pada tanggal 10 Desember 1948, PPB memproklamasikan “THE UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS* yang berlaku bagi semua negara anggotanya. Realitas yang terjadi kepatuhan negara-negara terhadap deklarasi ini masih bervariasi dari negara ke negara, salah satu sebab adalah karena ketidak mengertian isi-isi dalam deklarasi tersebut.

Indonesia punya Pancasila yang sila ke-2 berbunyi Kemanusian Yang Adil dan Beradab, secara prinsip menurut pendapat saya tidak berbeda dengan apa yang dimaksud dengan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia, ini tercermin dalam konstitusi NKRI pasal 27, 28, 29, 31 dan 32 pada naskah asli UUD’45 yang secara komprehensip diperbaiki pada tahun 2000 dengan menyisipkan pasal 28A s/d 28J.

Dengan keinginan menghidupkan kembali Pancasila sebagai dasar NKRI bahkan sebagai “way of life” bangsa Indonesia, ada baiknya kita mengetahui isi Deklarasi Hak Asasi Manusia yang secara esensi tidak berbeda dengan pelaksanaan sila ke-2 dari Pancasila – Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang telah dijelaskan pada artikel sebelum ini dengan judul “Deklarasi Hak Asasi Manusia”

Bahwa kemudian Pancasila dimasukkan dalam preambul konstitusi (UUD ’45), ini adalah suatu usaha para pendiri bangsa untuk melestarikan nilai-nilai etika yang terkandung dalam Pancasila dalam bentuk kelembagaan agar bisa dilaksanakan secara konkrit dalam pelaksanaan ke tata negaraan. Kalau pelaksanaan ketatanegaraan mengacu pada Pancasila diharapkan nilai-nilai Pancasila akan dengan sendirinya menjadi nilai-nilai yang menyebar dalam masyarakat bangsa Indonesia.

Preambul konstitusi selalu berisi nilai-nilai etika yang diinginkan hidup dalam masyarakat. Berisi semangat ataupun cita-cita nilai etika yang secara ideal akan menjadi nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat melalui pelaksanaan ketatanegraan yang dituangkan dalam bentuk konstitusi.

Jadi preambul adalah semangat nilai-nilai etika yang menjadi referensi bagaimana konstitusi itu terbentuk atau dibentuk. Semangat yang ada dalam konstitusi (UUD’45) harus mengacu semangat yang ada dalam preambul. Konstitusi merupakan pencabaran ketatanegaran yang mengacu semangat nlai-nilai etika yang ada di preambul.

Oleh karena itu ada baiknya juga kita mengetahui apakah Hak Asasi Manusia tercermin dalam UUD’45, sebagai cerminan semangat etika Pancasila pada sila ke-2 - Kemanusian Yang Adil dan Beradab.

Selama ini sosialisasi sangat minim dilakukan oleh pemerintah baik terhadap Deklarasi Hak Asasi Manusia versi PBB maupun UUD’45 yang berisi pasal-pasal Hak Asasi Manusia, oleh karena itu melalui media ini, kita semua bisa mengetahui keduanya dan membandingkan apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara kelembagaan menghargai Hak Asasi Manusia yang juga masih perlu dijuji dalam pelaksanaan sehari-hari baik oleh anggota masyarakat maupun oleh Aparat Negara.

Pasal-Pasal Hak Asasi Manusia pada naskah asli UUD’45.

Beberapa pasal yang menurut pendapat saya adalah refleksi penghargaan terhadap Hak Asasi yang dilembagakan dalam konstitusi pada naskah asli UUD’45, adalah sbb.:

A. Pasal 27

(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan.

B. Pasal 28

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

C. Pasal 29

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

D. Pasal 31

(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.

(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.

E. Pasal 32

Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

Pasal-Pasal Hak Asasi Manusia pada naskah UUD’45 hasil amandemen tahun 2000.

Pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia ditambahkan secara komprehensip baru para amandemen UUD’45 tahun 2000 yaitu disamping tidak ada perubahan pada pasal-pasal diatas, dipertegas dengan satu bab tentang HAM yaitu BAB XA HAK ASASI MANUSIA, pasal 28A s/ 28J sebagai berikut:

A. Pasal 28A

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

B. Pasal 28B

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

C. Pasal 28C

(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

D. Pasal 28D

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

E. Pasal 28E

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

F. Pasal 28F

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

G. Pasal 28G

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

H. Pasal 28H

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.

I. Pasal 28I

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

(5) Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundanganundangan.

J. Pasal 28J

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Dari perbandingan antara naskah asli UUD’45 dan amandemen tahun 2000, dapat disimpulkan bahwa pasal-pasal yang ada dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia telah diadaptasi dijadikan pasal-pasal dalam UUD’45 hasil mandemen tahun 2000. Dengan melembagakan Deklarasi Hak Asasi Manusia menjadi bagian dari konstitusi yang juga merupakan penjabaran lebih rinci dari sila ke-3 dari Pancasia – Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Tidak ada alasan bagi masyarakat bangsa Indonesia dan Aparat Negara untuk tidak menghormati dan melaksanakan Hak Asasi Manusia dengan sebaik-baiknya, kecuali kalau kita sebagai bangsa dan maupun para Aparat Negara mengganggap konstitusi (UUD’45) adalah seketar kata-kata yang tidak punya makna dan tidak perlu dipatuhi.

Depok, 13 Desember 2010.



ERUPSI POLITIK PAK BEYE VERSUS MASYARAKAT JOGYA & RENCANA PEMBENTUKAN “DAERAH SUPRA ISTIMEWA BUMI MENTAOK”.

Catatan : YLBN

PENDAHULUAN

Paska alam memperdaya Ketua MPR Taufik Kiemas pada hari ulang tahun peringatan “Hari Kesaktian Pancasila”, 1 Oktober 2010 dimana sekedar membaca teks PANCASILA saja salah, kini Prsiden Pak Beye dipinjam oleh alam untuk mewartakan tentang betapa pentingnya peran dan ketauladanan sosok Sri Sultan HB IX dan Daerah Istimewa Jogyakarta yang fonumental sebagai pengikat Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia yang sekaligus sebagai rahim yang mengandung “janin penyelamat bagi NPKRI” yang samasekali tak bermodal kecuali teks Proklamasi & bendera Sang Saka Merah Putih serta tekad kesatuan dan persatuan yang merah membara seluruh bangsa Indonesia. Beruntung ada sosok kenegarawanan yang visioner, revolusioner, transformator dan patriotik serta murah hati yakni Ngerso Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwoino IX yang segala harta kekayaannya diinjeksikan kepada birokrat bayi NPKRI dan menyemai skill investment dengan menjadikan Pagelaran Kraton dijadikan pusat kegiatgan belajar – mengajar bagi Universitas Gajah Mada sehingga semuanya dapat tumbuh laksana Wisanggeni yang dibakar oleh apinya kawah candro dimuko.

Berkat peran serta Sri Sultan HB IX dan kesultanannya, maka tak dapat dipisahkan antara NKRI dengan DIJ atau bahkan dapat dikatakan “NKRI adalah DIJ dan DIJ adalah NKRI”. Maka adanya pernyataan Presiden Pak Beye yang menyatakan bahwa : “Sistem monarki seperti yang terjadi di DIJ tidak bisa dipertahankan karena bertabrakan dengan nilai – nilai demokrasi …” (Kompas, Saptu 27 November 2010). Nah dengan pernyataan tersebut identik dengan kesalahan Ketua MPR tersebut dimana Pak Beye dianggap tidak mengerti sejarah perjuangan khususnya paska deklarasi kemerdekaan bangsa atau mengkhianati amanat Bung Karno “Jasmerah”.


Yang kontan saja mengusik ketenangan warga Jogya khususnya dan warga Indonesia pada umumnya, di tengah rasa traumatis dan derita nistapa korban erupsi Gunung Merapi yang meletus mulai 26 Oktober 2010. Maka pengibaran bendera pusaka Merah Putih setengah tiang yang dikibarkan secara pribadi oleh Wali Kota Jogyakarta & digelarnya “Sidang Rakyat” termasuk juga DPRD Jogyakarta pada Senin 13 Desember 2010 atau 6 Suro 1944 dimana seluruh fraksi kecuali Partai Demokrat memutuskan penetapan bagi Sultan HB dan Sri Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur menjadi keputusan aklamasi.

Berbagai kejadiaan yang merupakan min aayaatillah, ayat – ayat TUHAN masih saja luput dari kesadaran para elit penyelenggara Negara untuk mengambil hikmah dibalik semuanya itu.

Maka kebijakan yang diambil oleh para penyelenggara negara, nampaknya merupakan suatu "blunder", yang harus dipertanggung jawabkan kepada pemilik sah kedaulatan yakni rakyat & Bunda Pertiwi serta juga kepada Sang Khaliq, Tuhan Seru Sekalian Alam. Wajah buruk atas blunder tersebut antaranya ; “ Diwakili oleh perilaku koruptif yang sistemik & merasuk di sekujur tubuh bangsa Indonesia dengan tingkat kegawatan yang membuat miris siapapun yang mencintai bangsa ini. Spektrum peri laku korup sudah mulai dari niat memanipulasi penyusunan dan menyalah gunakan regulasi (termasuk RUU DIJ) sampai peri laku yang merupakan manifestasi sikap tamak & serakah tanpa rasa malu. Selain itu, ada pula korupsi yang dilakukan sekedar mengatasi himpitan hidup yang menyesakkan". (Kompas, 11 Maret 2008, "Korupsi atas nama Pemberantasan Korupsi").

Bahkan komitmen, amanat, wasiat dan warisan founding fathers tentang Negara Proklamasi dengan Pancasila dan UUD 1945nya pun tak lagi dipedulikannya.

Bung Karno menyatakan bahwa : “Revolusi adalah perjuangan” Firman TUHAN inilah gitaku :”TUHAN tidak merubah nasib sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merubah nasibnya sendiri” QS : Ar Ra’d ayat 11. (Ref pidato 17 Agustus 19633 : Gesuri).

Itu pula yang telah dilakukan oleh Sultan HB IX sehingga meninggalkan suri tauladan tentang pengabdiannya kepada rakyat dan negara yang dibukukan oleh penyuntingnya dengan judul "Tahta Untuk Rakyat". Secara spiritual jiwa & pengabdian seperti itu dapat disebut sebagai "Ngawula Dumateng Kawulaning GUSTI". Maka tak dapat diingkari, tanpa campur tangan beliau, praktis NKRI tidak pernah ada sehingga tidaklah berlebihan bila kita nyatakan bahwa " Jogyakarta adalah NKRI dan NKRI adalah – Jogyakarta". Itulah peran kesejarahan yang memang menjadi kehendak alam itu sendiri, dan mengapa tidak oleh kesultanan – kesultanan yang lain ?. Maka tidaklah elok bila ada yang iri hati. Bahkan Bung Karno pun pernah menandaskan bahwa “Jogya adalah Jogyaku; Republik adalah Republikku dan Proklamasi adalah proklamasiku”. Bung Karno menyatakan juga bahwa “Law can not stand against bayonets” dan mensitir bahwa “there can be no peace until there is peace in the human hearts”. Ketertiban dan keamanan bukalah ibunya kemerdekaan, tetapi anaknya kemerdekaan”.

Oleh karenanya siapapun yang tak memikul dan terpikul oleh nature akan digilas oleh alam itu sendiri. Mari kita tunggu babak – babak baru yang akan terjadi.

BAGIAN I

HIJRAHNYA NPKRI DAN PERAN JOGYAKARTA

A. SEKILAS TENTANG JOGYAKARTA

Bila (Alm.) Soebadio Sastrosatomo tokoh Patai Sosialis Indonesia yang Soekarnois sekalipun pernah dipenjarakannya, dalam salah satu bukunya berjudul "Soekarno adalah Indonesia – Indonesia adalah Soekarno". Maka seiring peran kesejarahan Jogja dapat pula dianalogikan bahwa "Jogja adalah NKRI – NKRI adalah Jogja", sehingga sebagai "Daerah Istimewa", seharusnya melekat & memperoleh hak keistimewaannya selama Republik Indonesia ini berdiri & tidak boleh digantikan oleh apapun, apa lagi hanya demi jargon "demokrasi dan HAM". Jogya sebagai taman mininya Indonesia, dan sejarah sosiologis serta cultural - filosofis & spiritual, Jogyakarta seharusnya tak boleh dinafikan oleh siapapun, dengan alasan apapun juga karena tanpa andil Jogyakarta maka NKRI tak akan pernah terbentuk dan tak akan dapat dipertahankannya hingga kini.

Mengapa ?, karena kodrati Jogyakarta adalah kehendak sejarah itu sendiri. Nampaknya sudah merupakan kehendak alam bahwa Jogyakarta senantiasa harus melakonkan peran kesejarahannya. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri pada 1755 sebagai konsekwensi adanya "Perjanjian Giyanti" setelah Belanda selama delapan tahun berperang melawan KPH. Mangkubumi yang didukung oleh KPH. Mangkunegoro (RM. Sahid yang juga menantunya) juga oleh Tumenggung Martopura yang sebelumnya memberontak terhadap Paku Buwono II yang hanya dapat ditaklukkan oleh KPH. Mangkubumi tersebut.

Kemudian kerajaan Mataram dibagi dua dimana SHSKS. Paku Buwono III menguasai nagari Surakarta Hadiningrat sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh KPH. Mangkubumi yang kemudian bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I, Senopati Hing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah, saat beliau masih berumur 38 tahun. Sultan HB I, hamengkoni wewengkon : Ngayogyakarta, Sokawati Pajang, Bagelen, Kedu, Madiun, Magetan, Grobogan, Caruban, Pacitan, Tulung Agung, Mojokerto, Bojonegoro, Kalangbret, Sela, Bumi Gedhe dan Wirasari.

Sementara Kadipaten Pura Paku Alaman berdiri pada 1813 yang kemudian berwilayahkan Kulon Progo.

Di era abad XX, Pemerintah Belanda mengakui keberadaan Pemerintahan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII, dengan mengeluarkan kontrak politik masing – masing dalam staatsblat 1941 No. 47. dan No. 51.

Sungguhpun demikian begitu Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Bung Karno & Bung Hatta, pada 17 Agustus 1945, segera pada 19 Agustus 1945 Sri Sultan Hamengku Buwana IX sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat segera mengirim telegram kepada Proklamator dengan mendeklarasikan diri bahwa Jogyakarta adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI. Maka pada tanggal yang sama sebagai rasa hormat dan penghargaan, Bung Karno mengeluarkan "Piagam Kedudukan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII".

Pada 5 September 1945 Sri Sultan IX dan kemudian disusul oleh Paku Allam VIII, mengeluarkan maklumat tentang kedudukan Jogyakarta. Deklarasi tersebut berbunyi :

1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah

Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.


2. Bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai kepala daerah memegang

segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu

segala urusan pemeritahan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai

saat itu berada di tangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan kekuasaan

lainnya beliau pegang sepenuhnya.


3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan

Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan

tanggung jawab Sri Sultan Hamengku Buwono IX atas Negeri Ngayogyakarta

Hadiningrat langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

(Itulah yang oleh Sultan HB X dinyatakannya sebagai “ijab Khabul”).

Sebagai nasionalis tulen yang kenyang melihat leluhurnya diperdaya oleh Belanda maka beliau menolak bujukan Belanda, untuk menjadi Wali Nagari yang memiliki kekuasaan penuh atas Jawa & Madura. NKRI adalah merupakan amanat Leluhur yang harus dilaksanakannya tanpa reserve.

DIJ terbentuk berdasarkan UU No. 3/1950 tanggal 4 Maret 1950 dan kemudian diubah dengan UU No. 19/1950 tanggal 14 Agustus 1950. Pada masa Orde Baru peran Jogya diredusir apa lagi setelah Sri Sultan HB IX tidak lagi berkenan menjadi Wakil Presiden dengan UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979. Dan di masa reformasi ini semakin kabur karena merujuk pada UU No. 22/1999 yang telah diperbaharui dengan UU No. 32/2004, yang menyebabkan nasib “keistimewaan” DIJ terpinggirkan. Namun sayang setelah begitu lama payung hukum tersebut terbengkelai justru sebelum sidang kabinet Presiden Beye pada 25 November 2010, mengeluarkan statemen yang mengejutkan seiring adanya RUUK DIJ itu yang justru menimbulkan silang sengkaruk. Bandingkan dengan Aceh ?.

ERUPSI POLITIK PAK BEYE VERSUS MASYARAKAT JOGYA & RENCANA PEMBENTUKAN “DAERAH SUPRA ISTIMEWA BUMI MENTAOK”.

Catatan : YLBN

PENDAHULUAN

Paska alam memperdaya Ketua MPR Taufik Kiemas pada hari ulang tahun peringatan “Hari Kesaktian Pancasila”, 1 Oktober 2010 dimana sekedar membaca teks PANCASILA saja salah, kini Prsiden Pak Beye dipinjam oleh alam untuk mewartakan tentang betapa pentingnya peran dan ketauladanan sosok Sri Sultan HB IX dan Daerah Istimewa Jogyakarta yang fonumental sebagai pengikat Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia yang sekaligus sebagai rahim yang mengandung “janin penyelamat bagi NPKRI” yang samasekali tak bermodal kecuali teks Proklamasi & bendera Sang Saka Merah Putih serta tekad kesatuan dan persatuan yang merah membara seluruh bangsa Indonesia. Beruntung ada sosok kenegarawanan yang visioner, revolusioner, transformator dan patriotik serta murah hati yakni Ngerso Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwoino IX yang segala harta kekayaannya diinjeksikan kepada birokrat bayi NPKRI dan menyemai skill investment dengan menjadikan Pagelaran Kraton dijadikan pusat kegiatgan belajar – mengajar bagi Universitas Gajah Mada sehingga semuanya dapat tumbuh laksana Wisanggeni yang dibakar oleh apinya kawah candro dimuko.

Berkat peran serta Sri Sultan HB IX dan kesultanannya, maka tak dapat dipisahkan antara NKRI dengan DIJ atau bahkan dapat dikatakan “NKRI adalah DIJ dan DIJ adalah NKRI”. Maka adanya pernyataan Presiden Pak Beye yang menyatakan bahwa : “Sistem monarki seperti yang terjadi di DIJ tidak bisa dipertahankan karena bertabrakan dengan nilai – nilai demokrasi …” (Kompas, Saptu 27 November 2010). Nah dengan pernyataan tersebut identik dengan kesalahan Ketua MPR tersebut dimana Pak Beye dianggap tidak mengerti sejarah perjuangan khususnya paska deklarasi kemerdekaan bangsa atau mengkhianati amanat Bung Karno “Jasmerah”.


Yang kontan saja mengusik ketenangan warga Jogya khususnya dan warga Indonesia pada umumnya, di tengah rasa traumatis dan derita nistapa korban erupsi Gunung Merapi yang meletus mulai 26 Oktober 2010. Maka pengibaran bendera pusaka Merah Putih setengah tiang yang dikibarkan secara pribadi oleh Wali Kota Jogyakarta & digelarnya “Sidang Rakyat” termasuk juga DPRD Jogyakarta pada Senin 13 Desember 2010 atau 6 Suro 1944 dimana seluruh fraksi kecuali Partai Demokrat memutuskan penetapan bagi Sultan HB dan Sri Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur menjadi keputusan aklamasi.

Berbagai kejadiaan yang merupakan min aayaatillah, ayat – ayat TUHAN masih saja luput dari kesadaran para elit penyelenggara Negara untuk mengambil hikmah dibalik semuanya itu.

Maka kebijakan yang diambil oleh para penyelenggara negara, nampaknya merupakan suatu "blunder", yang harus dipertanggung jawabkan kepada pemilik sah kedaulatan yakni rakyat & Bunda Pertiwi serta juga kepada Sang Khaliq, Tuhan Seru Sekalian Alam. Wajah buruk atas blunder tersebut antaranya ; “ Diwakili oleh perilaku koruptif yang sistemik & merasuk di sekujur tubuh bangsa Indonesia dengan tingkat kegawatan yang membuat miris siapapun yang mencintai bangsa ini. Spektrum peri laku korup sudah mulai dari niat memanipulasi penyusunan dan menyalah gunakan regulasi (termasuk RUU DIJ) sampai peri laku yang merupakan manifestasi sikap tamak & serakah tanpa rasa malu. Selain itu, ada pula korupsi yang dilakukan sekedar mengatasi himpitan hidup yang menyesakkan". (Kompas, 11 Maret 2008, "Korupsi atas nama Pemberantasan Korupsi").

Bahkan komitmen, amanat, wasiat dan warisan founding fathers tentang Negara Proklamasi dengan Pancasila dan UUD 1945nya pun tak lagi dipedulikannya.

Bung Karno menyatakan bahwa : “Revolusi adalah perjuangan” Firman TUHAN inilah gitaku :”TUHAN tidak merubah nasib sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merubah nasibnya sendiri” QS : Ar Ra’d ayat 11. (Ref pidato 17 Agustus 19633 : Gesuri).

Itu pula yang telah dilakukan oleh Sultan HB IX sehingga meninggalkan suri tauladan tentang pengabdiannya kepada rakyat dan negara yang dibukukan oleh penyuntingnya dengan judul "Tahta Untuk Rakyat". Secara spiritual jiwa & pengabdian seperti itu dapat disebut sebagai "Ngawula Dumateng Kawulaning GUSTI". Maka tak dapat diingkari, tanpa campur tangan beliau, praktis NKRI tidak pernah ada sehingga tidaklah berlebihan bila kita nyatakan bahwa " Jogyakarta adalah NKRI dan NKRI adalah – Jogyakarta". Itulah peran kesejarahan yang memang menjadi kehendak alam itu sendiri, dan mengapa tidak oleh kesultanan – kesultanan yang lain ?. Maka tidaklah elok bila ada yang iri hati. Bahkan Bung Karno pun pernah menandaskan bahwa “Jogya adalah Jogyaku; Republik adalah Republikku dan Proklamasi adalah proklamasiku”. Bung Karno menyatakan juga bahwa “Law can not stand against bayonets” dan mensitir bahwa “there can be no peace until there is peace in the human hearts”. Ketertiban dan keamanan bukalah ibunya kemerdekaan, tetapi anaknya kemerdekaan”.

Oleh karenanya siapapun yang tak memikul dan terpikul oleh nature akan digilas oleh alam itu sendiri. Mari kita tunggu babak – babak baru yang akan terjadi.

BAGIAN I

HIJRAHNYA NPKRI DAN PERAN JOGYAKARTA

A. SEKILAS TENTANG JOGYAKARTA

Bila (Alm.) Soebadio Sastrosatomo tokoh Patai Sosialis Indonesia yang Soekarnois sekalipun pernah dipenjarakannya, dalam salah satu bukunya berjudul "Soekarno adalah Indonesia – Indonesia adalah Soekarno". Maka seiring peran kesejarahan Jogja dapat pula dianalogikan bahwa "Jogja adalah NKRI – NKRI adalah Jogja", sehingga sebagai "Daerah Istimewa", seharusnya melekat & memperoleh hak keistimewaannya selama Republik Indonesia ini berdiri & tidak boleh digantikan oleh apapun, apa lagi hanya demi jargon "demokrasi dan HAM". Jogya sebagai taman mininya Indonesia, dan sejarah sosiologis serta cultural - filosofis & spiritual, Jogyakarta seharusnya tak boleh dinafikan oleh siapapun, dengan alasan apapun juga karena tanpa andil Jogyakarta maka NKRI tak akan pernah terbentuk dan tak akan dapat dipertahankannya hingga kini.

Mengapa ?, karena kodrati Jogyakarta adalah kehendak sejarah itu sendiri. Nampaknya sudah merupakan kehendak alam bahwa Jogyakarta senantiasa harus melakonkan peran kesejarahannya. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri pada 1755 sebagai konsekwensi adanya "Perjanjian Giyanti" setelah Belanda selama delapan tahun berperang melawan KPH. Mangkubumi yang didukung oleh KPH. Mangkunegoro (RM. Sahid yang juga menantunya) juga oleh Tumenggung Martopura yang sebelumnya memberontak terhadap Paku Buwono II yang hanya dapat ditaklukkan oleh KPH. Mangkubumi tersebut.

Kemudian kerajaan Mataram dibagi dua dimana SHSKS. Paku Buwono III menguasai nagari Surakarta Hadiningrat sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh KPH. Mangkubumi yang kemudian bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I, Senopati Hing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah, saat beliau masih berumur 38 tahun. Sultan HB I, hamengkoni wewengkon : Ngayogyakarta, Sokawati Pajang, Bagelen, Kedu, Madiun, Magetan, Grobogan, Caruban, Pacitan, Tulung Agung, Mojokerto, Bojonegoro, Kalangbret, Sela, Bumi Gedhe dan Wirasari.

Sementara Kadipaten Pura Paku Alaman berdiri pada 1813 yang kemudian berwilayahkan Kulon Progo.

Di era abad XX, Pemerintah Belanda mengakui keberadaan Pemerintahan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII, dengan mengeluarkan kontrak politik masing – masing dalam staatsblat 1941 No. 47. dan No. 51.

Sungguhpun demikian begitu Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Bung Karno & Bung Hatta, pada 17 Agustus 1945, segera pada 19 Agustus 1945 Sri Sultan Hamengku Buwana IX sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat segera mengirim telegram kepada Proklamator dengan mendeklarasikan diri bahwa Jogyakarta adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI. Maka pada tanggal yang sama sebagai rasa hormat dan penghargaan, Bung Karno mengeluarkan "Piagam Kedudukan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII".

Pada 5 September 1945 Sri Sultan IX dan kemudian disusul oleh Paku Allam VIII, mengeluarkan maklumat tentang kedudukan Jogyakarta. Deklarasi tersebut berbunyi :

1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah

Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.


2. Bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai kepala daerah memegang

segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu

segala urusan pemeritahan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai

saat itu berada di tangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan kekuasaan

lainnya beliau pegang sepenuhnya.


3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan

Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan

tanggung jawab Sri Sultan Hamengku Buwono IX atas Negeri Ngayogyakarta

Hadiningrat langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

(Itulah yang oleh Sultan HB X dinyatakannya sebagai “ijab Khabul”).

Sebagai nasionalis tulen yang kenyang melihat leluhurnya diperdaya oleh Belanda maka beliau menolak bujukan Belanda, untuk menjadi Wali Nagari yang memiliki kekuasaan penuh atas Jawa & Madura. NKRI adalah merupakan amanat Leluhur yang harus dilaksanakannya tanpa reserve.

DIJ terbentuk berdasarkan UU No. 3/1950 tanggal 4 Maret 1950 dan kemudian diubah dengan UU No. 19/1950 tanggal 14 Agustus 1950. Pada masa Orde Baru peran Jogya diredusir apa lagi setelah Sri Sultan HB IX tidak lagi berkenan menjadi Wakil Presiden dengan UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979. Dan di masa reformasi ini semakin kabur karena merujuk pada UU No. 22/1999 yang telah diperbaharui dengan UU No. 32/2004, yang menyebabkan nasib “keistimewaan” DIJ terpinggirkan. Namun sayang setelah begitu lama payung hukum tersebut terbengkelai justru sebelum sidang kabinet Presiden Beye pada 25 November 2010, mengeluarkan statemen yang mengejutkan seiring adanya RUUK DIJ itu yang justru menimbulkan silang sengkaruk. Bandingkan dengan Aceh ?.