Sabtu, 21 Mei 2011

HARKITNAS & BERGURU PADA ALAM

Jaya! Rahayu widada mulya!

Kadangku setanah air. Ijinkanlah guna mengambil hikmah sebanyak mungkin atas peristiwa HARKITNAS ke 103, kami terpaksa melengkapi sajian kami pagi tadi yang berjudul 'KEBANGKRUTAN NASIONAL ? MARI KITA BUMIKAN PROKLAMASI & PANCASILA", KAMI SAJIKAN DENGAN KAJIAN SPIRITUAL semampu - mampunya ibarat "tiada rotan akarpun berguna".

ALAM ADALAH IBU KITA, ALAM ADALAH GURU KITA, ALAM ADALAH PANUTAN KITA KARENA DIA MEMILIKI SIFAT YG TAWADUK - RENDAH HATI, SABAR, PEMAAF, MAHA KAYA TAPI TAK PERNAH SOMBONG, CINTA KASIH YG TAK JEMU - JEMU MENGHIDUPI KITA UMAT GUSTI. bahkan kita kencingi - kita beraki tak pernah mengeluh bahkan kita ludahi!

Keadaan berbangsa & bernegara yang nihil leadership Nusantara ini, seiring kondisi & situasi yang gamang dan cenderung adanya pembiaran oleh pemerintah yang telah terjadi bertahun – tahun maka peran Negara diambil alih oleh mereka, “sehingga nampak jelas, kekerasan – kekerasan yang terjadi pada decade terakhir ini lebih dikarenakan oleh lemahnya peran dan fungsi Negara (weak state). Kondisi yang kemudian dimanfaatkan oleh elit tertentu, ormas tertentu, atau golongan lainnya untuk menggantikan posisi Negara itu”. Mereka membuat idiologi, sistem & aturannya sendiri. Akibatnya, manakala elit lain, ormas lain, organisai lain tidak berfikir, bertindak & berperi laku sesuai dengan idiologi, sistem & aturan yang mereka bangun, maka mereka akan memaksakan kehendaknya”.(Kompas, 5 Juli ‘08 hal.14).

Puncak anarkisme yang justru berlangsung saat anak – anak bangsa memperingati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2008, dimana peserta yang tergabung dalam : “Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama & Berkeyakinan” (AKKBB) yang diserang oleh jemaah FPI dan Komado Laskar Islam, mereka berdalih bahwa AKKBB membela Ahmadiah (JAI). Ternyata kasus tersebut tidak serta merta berhenti bahkan anarkisme terhadap umat minoritas (Christiani) masih saja berlangsung, paska Ramadan 1431H justru sekelompok orang (dengan hasil puasanya sebulan?) melakukan tindak criminal dengan menusuk seorang pendeta & pemukulan terhadap asisten pendeta HKBP di Bekasi, Jawa Barat dan tindak dehumanisasi lainnya seperti kasus tewasnya 3 orang warga JAI di Cikeusik, Banten mupun kerusuhan Temanggung dan lain - lain. Sungguh ironis.

Bahkan terorime & bom bunuh diri semakin menjadi – jadi dengan mpodus dan operandi ug lebih absurb seperti kasus bom bunuh diri yang justru mengambil tempat di masjid Khomplek Mapolresta Cirebon dengan menggunakan hari besar Islam yakni Jum’at pada 15 April 2011 yang dilakukan oleh Mohammad Syarif yang asli Cirebon. Eloknya ia justru meninggalkan sebuah testamen menyusul heboh “books bombed” di mana – mana. Beruntung pembuat bom buku tersebut segera tertangkap sehingga Densus 88 dengan sigap dapat mengamankan beberapa bom di atas saluran pipa gas dekat gereja Chris Catedral di Serpong, Banten sehingga pelaksanaan Misa Jumat Agung seiring perayaan Paskah, 22 April 2011 dapat berjalan baik. Salut pada petugas Densus 88 , Polri tersebut, sehingga ceceran darah yang sia – sia dapat ditiadakan. Dan mampu menggulung komplotan mereka!

Slogan mereka guna menguasai Indonesia dengan bersemboyankan “dakwah – jitzah dan jihad dengan slogan Hidup mulia atau mati sahid” telah mampu mencuci otak anak – anak bangsa ini sehingga toleransi, e pluribus unum, unitas in plurifate, keberagaman, kepelangian atau lebih terkenal dalam manifesto “Bhinneka tunggal ika”, sungguh tidak lagi dijadikan perekat bahkan itu diharamkannya, Quovadis bangsaku.

Bahkan alam yang bergolak, seiring terjadinya prahara demi prahara dengan seribu satu manifestasinya, oleh sebagian kaum spiritualis dianggap sebagai akibat dari pengingkaran dan atau pengkhianatan terhadap setidaknya :

  1. 1. Anugerah TUHAN yang telah memberkati dan merahmati berdirinya Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia (NPKRI) yang berdasarkan PANCASILA & juklaknya UUD 1945 itu. Yang telah diproklamirkan pada 9 Ramadan 1876 SJ (AJ) yang bertepatan dengan 17 Agustus 1945 itu.
  2. 2. Pengorbanan para pendahulu kita tidak saja air mata, harta, darah bahkan jutaan nyawa dikorbankannya asalkan dapat merebut dan memperta -hankan kemerdekaan bangsa nya dalam tubuh NPKRI.
  3. 3. Wasiat, amanat, warisan dan amanah para founding fathers utamanya Bab XVI pasal 37 tentang “PERUBAHAN” UUD 1945, yang dengan jumawa tanpa mandat rakyat dan di luar tuntutan reformasi pari purna, MPR 1999 – 2004 telah mengamandemen hingga empat kali secara besar – besaran dengan menghasilkan 174 ketentuan baru dan hanya mempertahankan 25 ketentuan lama atau sebesar 87,5% dan 12,5%. Yang naifnya tetap menggunakan label “UUD 1945” jelas ini suatu bentuk pembodohan terhadap rakyat sang pemilik sah kedaulatan utu sendiri.
  4. 4. Wasiat, amanat, warisan dan amanah Sang Proklamator, Penggali PANCASILA dan Presiden I, Ir. Soekarno utamanya tentang : PANCASILA, Trisakti, Jasmerah dan “Kutitipkan bangsa & Negara ini kepadamu”.

Mereka merasa begitu piawai sehingga tak menghargai para pendahulunya dan ironisnya mereka menilainya dari masa kekinian terutama para jawara hukum & cendikiawan di antaranya A. Ahsin Thori seorang pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti yang menilai bahwa : " .....mengingat UUD 1945 naskah aslinya mengidap persoalan sejak kelahirannya sehingga sejak awal tidak dimaksudkan sebagai UUD difinitif". ..... UUD 1945 naskah asli justru menjadi persolan itu sendiri". (Kompas, Kamis 3 Juli 2008).

Bila kita menggunakan bahasa Nurani (bukan bahasa hukum), kata : mengidap & tidak dimaksudkan ..." diatas adalah sungguh tak senonoh, cermin pelecehan seorang ilmuwan – akademisi terhadap maha karya founding fathers, sedangkan amanat yang tersirat dalam UUD 1945 itu adalah suatu cermin yang sungguh arif dan bijaksana penuh dengan kerendahan hati yang ingin mewujudkan cita – cita luhur, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia secara Berketuhanan (bukan agama) yang berdasarkan kesadaran tertinggi dan kebenaran mutlak”.

Bandingkan dengan para pakar Negeri Paman Syam yang tidak mendasarkan pada PANCASILA saja justru mereka begitu santun penuh adab seperti pernyataan Taverne yang menyatakan : "Berikan kepadaku hakim dan jaksa yang baik, maka undang – undang yang burukpun saya dapat membuat putusan yang baik. Dan Gerry Spence, advokat senior AS menyakan : "Sebelum menjadi ahli hukum profesional jadilah manusia yang berbudi luhur (evalued person) terlebih dulu, kalau tidak, para ahli hukum hanya akan lebih menjadi monster dari pada malaekat penolong orang susah". Mereka tidak sombong & menghakimi hukum.

Kita lupa bahwa kala itu dalam suasana menjelang akhir perang dunia II, dimana penjajahan militer Jepang sekalipun Kaisar Hirohito telah menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, namun di lapangan prakteknya amat berbeda. Kenyataannya mereka masih dalam keadaan siap siaga, dengan bayonet terhunus yang tidak segan – segan siap menghabisi para pejuang. Sungguhpun demikian toh dalam keadaan darurat founding fathers mampu menyelesaikan pembuatan UUD 1945 hanya selama 81 hari itupun banyak hari reses. Memang egoisme yang sempat mengancam terbentuknya UUD 1945, dapat mereka redam khususnya peristiwa 15 Juli 1945.

Sehingga demi tujuan yang lebih besar lagi mulya, mereka berjuang tanpa pamrih pribadi kecuali agar segera dapat memproklamirkan kemerdekaannya, dengan semboyan "merdeka sekarang juga atau tidak sama sekali" !, yang agar nantinya dapat diwariskan ke generasi – generasi berikutnya. Bila perlu tidak hanya darah nyawapun mereka korbankan. Namun seperti itukah penghargaan kita terhadap founding fathers & para : pejuang, pahlawan dan syuhada ?. Sedangkan Proklamator & sekaligus Presiden NKRI I, Bung Karno hanya sekedar untuk membangun rumah tempat tinggal, di Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru saja harus terpaksa dengan meminjam uang kepada teman – temannya. Bahkan pada akhir kekuasaannya, saat meninggalkan Istana Bogor, sekedar membeli seikat rambutan rabiah kesukaannya pun tak mampu. Dan yang tak kalah mengharukan Proklamator Bung Hatta yang juga sebagai Proklamator & Wakil Presiden R. I. I, hanya sekedar keiinginannya menggunakan sepatu buatan Itali, merk "Bally" sampai akhir hayatnya pun tidak kesampaian. Belum lagi para pejuang, para veteran yang masih tersisa dimana kini telah memasuki usia uzur yang masih luput dari perhatian Pemerintah.

Sungguh sangat mengharukan. Nah dengan berbagai kesalahan tersebut apakah bangsa & Negara ini tetap merasa tidak bersalah dan justru menikmati dengan adanya UUD 2002 barunya itu? Atau sebaliknya dapat segera menumbuhkan kesadaran untuk melakukan introspeksi, ektrospeksi, retrospeksi dan sircumspeksi dengan melaksanakan adanya tobatan nasuha nasional karena selama ini telah kufur atas nikmat – NYA dan segera kembali kepada PANCASILA & UUD 1945 pra amandemen, return to spiritual values, return to cultural & nature serta sesegera mungkin melakukan hijriyah di segala bidang ?.

Oleh karenanya nampaknya alam, Sang Ibu Pertiwi ini memiliki cara tersendiri di dalam mengingatkan bangsa ini ialah dengan menggunakan sosok yang paling tepat yakni Ketua MPR, Taufik Kiemas yang sekaligus sebagai Ketua Dewan Pembina PDIP yang juga sebagai menantu Penggali Pancsila, Proklamator dan Presiden R. I. I Ir. Soekarno itu sendiri. Sungguh tak masuk akal sekedar membaca teks PANCASILA saat memperingati hari kesaktian PANCASILA pada 1 Oktober 2010 pun salah ucap! Dan sebelumnya pada 1 Juni 2010 secara spiritual bahwa “Pemerintah & MPR”, tidak memperingati hari lahirnya Pancasila melainkan hanya memperingati “Pidato Ir. Soekarno, 1 Juni 1945”. Analoginya ibarat “erangan kesakitan sang Ibu” yang baru melahirkan itu yang diperingati “bukan bayinya” sebagai anugerah TUHAN. Ironisnya lagi bahwa : “idiologi PDIP menggunakan BAYI PANCASILA” (1 Juni 1945) sementara sebagian partai yang berbasiskan Islam serta Pemda yang memiliki otonomi itu ramai – ramai menggunakan “REMAJANYA PANCASILA” yakni “PIAGAM JAKARTA” (22 Juni 1945) sementara “DEWASANYA PANCASILA” (18 Agustus 1945) yang semerbak mewangi elok rupawan perangainya yang merupakan perwujudan adi kodratinya “perfection perfected”, justru diabaikannya oleh bangsa ini. Siapa peduli ?.

Setelah capres incumbent SBY dalam kampanye Pilpres putaran terakhir pada 4 Juli 2009 di Gelora Bung Karno disuguhi lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh Rio Febrian yang dinyanyikan menyerupai lagu “Star Spangled Banur” lagu kebangsaan AS. Bahkan kemudian pada Sidang Paripurna I DPR, pada 14 Juli 2009, justru lagu Indonesia Raya tersebut tidak dinyanyikannya sama sekali.

Eloknya SBY/Budiono juga ikut berebut “sentimen Islam”, sehingga dengan jitu mendirikan Majelis Dzikir “Narussalam” (MDN) di 33 propinsi sehingga meraup dukungan dari ormas Islam yang berbasis di Sumatera (Al – Wahsliyah & Tarbiyah Islamiah) dan Sulawesi (Darul Da’wah Wal – Irsyad). Pimpinan MDN, Harris Tahir dengan lihai memanfaatkan Islam tradisional bahkan partai – partai berbasiskan nuansa Islam serta merta mendukung SBY. Yang kemudian bermetamorposis dalam bentuk “Sekretariat Gabungan” (Sekgab) partai koalisator SBY, dimana pesaingnya Partai Golkar ikut serta di dalam Sekgab setelah pasangan capres MJ. Kalla/Wiranto kalah dan upaya gugatannya bersama PDIP dimentahkan oleh MK.

Tak ketinggalan elemen Koalisai Kerakyatan pimpinan Jumhur Hidayat, mantan aktivis ITB yang pernah ditahan rezim Orde Baru. Mantan Sekjen Partai Daulat Rakyat itu, dalam Pemerintahan SBY direkrut sebagai Kepala Badan Nasional Penempatan & Perlindungan Tenaga Kerja. Bisa jadi karena itulah pula setiap pelaku anarkisme yang membawa panji – panji Islam cenderung ada pembiaran dan hanya sebagian kecil yang diproses sesuai hukum ?. Wallahu ‘alam bhishawab.

Serta Sang Saka Merah Putih berukuran raksasa : 100 M X 70 M, dalam rangka pendeklarasian capres Mega/Pro pun justru disangkutkan pada “Gunung Sampah di Bantar Gebang, Bekasi”, yang sedianya akan dilaksanakan pada saat peringatan Harkitnas, 20 Mei 2009, namun karena tidak hari libur maka dialihkan pada hari Minggu, 24 Mei 2009.

Nah setelah Sang Saka dihamparkan pada salah satu punggung bukit sampah, nasibnya seolah – olah menggeliat mejadi sebuah momentum yang amat sangat membanggakan dengan pemecehan recor MURI bahkan Guiness of Record dengan digelarnya “upacara bendera dalam memperingatai HUT Proklamasi, 17 Agustus 2009 dari Pulau Weh, NAD hingga di Muara Tami, Kota Jayapura dekat perbatasan Papua Nugini , dari Pulau Miangas hingga Pulau Santolo, Garut. Pengibaran dan acara - cara bendera di bawah laut di Gelar di pulau Rabiah, NAD dan di Bunaken sebagai pemecahan rekor dunia versi ”Guiness Book” tentang penyelaman massal oleh 2.465 orang pada 16 Agustus 2009 mereka menyelam selama 29 menit dengan membentuk formasi yang telah ditentukan. Lokasi penyelaman sekitar 300 M dari garis pantai Malalayang, Menado dengan kedalaman 15 – 20 M.

Menyusul rekor Guiness Book dalam bentuk ”Pelaksanaan Upacara Proklamasi Kemerdekaan di bawah air. Pengibaran Bendera Sang Saka Merah Putih & menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan penghormatan bendera yang semuanya dilaksanakan di bawah air selama 20 menit.

Namun bila dilihat dari sisi kacamata spiritual bisa jadi para fouding fathers, para pejuang, para pahlawan, para syuhada dan para pendahulu kita melihat warisannya dibenam – benamkan ke dalam air mereka menangis dan menyayangkan perbuatan anak –anak bangsanya. Apa lagi Bu Fat, yang menjahit sendiri bendera pusaka Merah Putih saat mengandung bayinya Guntur justru oleh putriya Mega, Sang Ketua Umum PDIP ditaruh di tempat sampah. Makin sempurna nasibnya dengan adanya milad PKS XIII, di Tasikmalaya terdapat acara teatrikal dimana Bendera Sang Saka Merah Putih justru diinjak – injaknya.!

Sedangkan suara – suara alam dari berbagai kecelakaan nasional yang terjadi hingga berbagai bencana alam yang begitu banyak menimpa bangsa & negeri ini yang merupakan semio buwana loka, min aayaatillah, ayat - ayat TUHAN sayang nyaris tiada satu lembagapun yang berkenan mengambil hikmah di balik itu semua yakni alegoris seperti :

  1. 1. Adanya kecelakaan berbagai moda transportasi yang mewakili alegoris “NASIONAL”, seperti : MV. Senopati Nusantara yang tenggelam pada 30 Desember 2006; yang segera pada tahun baru 1 Januari 2007 disusul dengan hilangnya Adam Air B. 737 – 400 KI 574, dimana 102 orang dinyatakan tewas yang hingga kini tak diketumukan jasadnya; hanya selang 50 hari pada 21 Februari 2007, lagi – lagi Adam Air B. 737 KI 172, patah badannya di Bandara Juanda, Surabaya; KM. Levina I terbakar dan tenggelam pada 22 Februari 2007 setidaknya 50 orang tewas; Selang dua minggu pada 7 Maret 2007 pesawat GA 300, terbakar di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, 34 orang tewas; Dan disusul tenggelamnya KM. Mandiri Nusantara dan tak ketinggalan KM. ACITA, tenggelam di perairan Bao - Bao. Bukankah begitu jelas makna dari serangkaian tragedy tersebut dari Senopati Nusantara hingga Mandiri Nusantara?. Bila Levina = (orang – orang) who Lifes in INA (Indonesia) namun teramat sayang mereka sekedar ACITA = tak memiliki cita – cita, kemauan dan usaha saja tak ada, lalu nasib bangsa & Negara ke depan nanti akan menjadi apa ?.

  1. 2. Tak kalah mirisnya dengan alegoris “NASIONAL INDONESIA” dalam bentuk tragedy yang lain seperti : Hotel INDONESIA, terbakar saat sedang dilakukan renovasi; Universitas NASIONAL, diserbu polisi saat mahasiwanya melakukan demontrasi menentang kenaikkan harga BBM pada 24 Mei 2008 bahkan saat memperingatai hari lahirnya PANCASILA, di lapangan Monumen NASIONAL, terjadi anarkisme yang dilakukan oleh FPI bersama Laskar Jihat Islam versus FKKUB. Suara alam tidak hanya berhenti di situ karena dalam memperingati Harkitnas pun terjadi semio buwanaloka yang lain seperti :

(1). Pada 20 Mei 2008 terjadi serentetan meninggalnya :

  • Sophan Sofyan, ironisnya terjadi saat menggalang semangat & jiwa nasionalisme, dan memperingati Harkitnas dengan konvoi Mogenya;
  • Kemudian disusul oleh wafatnya mantan Gubernur DKI Letjen Mar (pur) Ali Sadikin dan
  • Tepat pada 20 Mei 2008, wafatnya seorang wartawati Perintis Kemerekaan, tokoh 3 jaman yakni S. K. Trimurti.

(2). Pada 20 Mei 2009, karena bangsa & Negara ini dibuai oleh eforia Pileg,

Pildeperda juga Pilegda sehingga tak ada satupun yang memperingatinya maka HUT Harkitnas ke 101 dirayakan oleh alam itu sendiri dengan adanya tragedy kecelakaan pesawat Hercules yang jumlahnya sama persis umur kebangkitan nasional yakni = 101 crew dan penumpang termasuk Panglima Komando Sektor Hanudnas IV Biak, Marsekal Muda Harsono bersama istrinya pun ikut meninggal menjadi korban dan 2 penduduk sehingga korban seluruhnya menjadi 103!. Semoga mereka para korban jatuhnya pesawat tersebut mendapat matfiroh dan dijadikan sebagai syuhada.

Bahkan dalam hiruk pikuk perpolitikan nasional menjelang Pemilihan Umum 2009 dimana KPU menetapkan 38 parpol dan 6 partai local NAD semua berjumlah 44, maka bila berkenan merunut kitab suci Al – Qor’an dimana surat ke 44 adalah “ADUKHAAN” yakni “KABUT”. Yang menyiratkan betapa gelap gulitanya nurani anak – anak bangsa Indonesia ini di tengah zaman “Kali Yuga” atau zaman besi yakni zaman kegelapan yang oleh RNg. Ronggo Warsito disebutnya sebagai zaman “Kala Bendu”, yakni zaman dimana bangsa ini mendapat bebendu atau kutukan Alam Agung itu. Bahkan fenomena kegelapan ruhani ini, alam telah pula meminjam Bayangkara Negara dimana Polda Metro Jaya, per 1 Januari 2007 mengeluarkan peraturan yang kontroversif dimana pengandara sepeda motor di siang hari harus menyalakan lampunya. Bukankah secara spiritual ini memiliki makna bahwa terang sinar mentari masih dianggap kurang maka harus diterangi lagi dengan sepeda motor ? Bukankah ini bentuk dari kufur atas nikmat TUHAN, ibarat menggarami air laut ?. Pekat nian nurani bangsa saat ini ?.

(3). Peringatan Harkitnas NIII (ke 103) 20 Mei 2011, momentum ini justru semakin

membuktikan bahwa kebangkrutan nasional sejak 20 Mei 1998 seiring runtuhnya Orde Baru justru semakin absurb sehingga claim Pak Beye yang menyatakan dirinya sudah dalam trck – jalur yg benar terbantahkan sendirinya oleh alam itu sendiri. Setidaknya ada beberapa kritikal point yakni antara lain :

  • Bersamaan digelarnya Kongres PSSI yang masih saja digelayuti oleh “ego dan primordialisme”. Sehingga pengamanan sidang pun sungguh extra ketat sampai – sampai ring IV! Hak selalu saja dinomor satukannya sehingga baru pertama kalinya di dunia ini FIFA digugat secara resmi via arbitrase internasional oleh dua cakum PSSI yang namanya dianulir jauh sebelum pelaksanaan kongres. Sang pemilik nama besar itu merasa dirinya dihambat/didzolimi oleh elit FIFA, mereka tidak tahu kesalahanya apa ? bahkan oleh para pendukungnya, mereka siap bertempur hingga titik darah penghabisan. WOW ?. Apa tidak lebih baik bila uang & gugatannya itu ditujukan kepada Malay yg telah melayangkan gugatannya ke Mahkamah Internasional seiring claimnya atas “perairan di Selat Malaka” itu, setelah berjaya mencaplok Pulau Sipadan & Ligitan serta merampok budaya asli kita ?. Quovadis!
  • Tertangkap tangannya Sekmenpora yang sedang menerima upeti atas dibangunnya asrama atlit dalam Seagames di Palembang nanti.
  • Jubir Presiden AP, yg melansir adanya ancaman gempa di JKT dengan kekuatan 8,7 SR yang otomatis membuat resah warga Ibu Kota sehingga Pak Beye harus turun tangan dengan memerintahakannya agar diadakan kajian ulang bukan bagaimana sambil selalu “menyiap - siagakan warga masyarakat” sehingga kalaupun itu terjadi banyak nyawa yg dapat terselamatkannya.
  • Bendahara Partai Demokrat yang semakin mengelak justru semakin tersudut oleh keterlibatannya dalam “Earning money centre” setelah pengakuan Ketua MK, Mahmud MD yang September 2010, koleganya pernah diberinya fulus sebanyak S$ 120.000 dimana uang tsb. telah dikembalikan padanya.
  • Pernyataan Ketua KPK Busro Mukadas bahwa telah terjadi “korupsi terstruktur” atau “Managemen Korupsi” ? yang membuat dirinya konon menjadi “ewuh pekewuh” sehingga harus sowan dan minta izin Pak Beye.
  • Adanya rumor ancaman dari Sang Bendahara PD bila ia ditendang maka akan melantunkan “gitanjali - perdustaan” bagi elit PD itu sendiri apa lagi Ketua Umum PD pun mengelak bahwa dirinya tidak tahu menahu tentang policy itu! Ini sungguh absurb dan edan tenan.
  • Janji – janji Pak Beye yang selalu lantang bersuara akan memimpin sendiri pemberantasan KKN nampaknya sampailah pada titik kulminasi, shingga manakala niat luhur itu gagal direalisasikannya maka tebusannya amatlah mahal apa lagi adanya suara kenabian yg telah didendangkan oleh para elit lintas agama yang menjadikan tahun 2011 ini merupakan tahun “Terminated of Lying”. Ditambah isu yang tidak sedap yakni “Abused of Power” yang direlased oleh 2 harian Australia.

PANCASILA, sebagai pandangan hidup, sebagai way of life, sebagai filosofi bangsa, sebagai alat pemersatu bangsa, sebagai jiwanya bangsa, sebagai sumber hukum, sebagai quality measurement tool tak lain adalah sebagai rahim kebudayaan. Sayang sebagai idiologi telah tercerabut dari akar – akar budaya bangsa.

“Kita sekarang kalau tidak awas – awas, menuju kepada anarki total “. Kata – Bung Karno. Oleh sebab itu bisa jadi alegoris tragedy alam khsusnya kurdanya Gunung Merapi namun anti klimaknya justru Gempa Bumi, 27 Mei 2006 yang bertepatan dengan 1 Jumadilawal ’39 (1939 SJ)” yang dapat disingkat dengan “SIJUMLUNGA”, Siji Jumadilawal Telu Sanga yang secara filosofis menyiratkan “Sijumbuhing kawula lan GUSTI – ne wis Lunga” atau sikap dan peri laku jumbuhing lahir dengan batin,

menyatunya makrokosmos dengan mikrokosmos, in sensu abstracto – in sensu srticto justru sudah tiada! Yang segera dua hari kemudian disusul dengan muncratnya lumpur “LAPINDO” yang memiliki makna pesan moral bahwa : “Laku – lampah Bangsa & Negara Indonesia ini telah penuh dengan lumpur dosa”.

Semua ini terjadi karena bangsa ini telah kehilangan jati diri bangsa , “Dan ini sudah seperti asiomatik : tiada pemimpin yang mampu menjadi negarawan sebelum ia menjadi budayawan (man of culture). Dan sukseslah kita bersama untuk gagal menjadi bangsa budaya, menjadi Negara (yang ber)budaya” (Gatra, 3 Juni 2009, hal 106). Ajip Rosidi pun berujar : “Negara ini tengah dipimpin oleh politikus angkuh tanpa rasa sastra sehingga lupa akan hal – hal yang sederhana”. Tak ketingalan Cok Sawitri menyatakan bahwa “Bangsa yang melupakan susastra berarti sedang membangun keruntuhan”.

Dan Bung Karno juga menyatakan abhwa : “Negeri yang diperintah oleh komprador – komprador imperialis tidak mungkn negeri yang merdeka”! (DBR Jilid II, hal. 584).

Sedangkan alam pun telah memberinya petunjuk bagaimana seharusnya mempertahankan NPKRI dan memberdayakannya seperti serentetan peristiwa meletusnya kembali Gunung Karangetang di Sulut. Bukankah karang = tanah air sementara etang = hitung ? Berapa besar asset dan kekayaan NPKRI ini tidak saja Sumber Daya (SD) Alam & SDManusia akan tetapi juga SDSosial, SDBudaya, SD spiritualitas! Lalu mengapa sampai begitu banyak punya hutang ? Kemudian Gunung Sinabung yang telah dinyatakan mati berabad – abad toh tiba – tiba meletus? Bukankah Gunung pun mengingatkan tentang pentingnya “Saving Investment” ?, yakni berbagai SD tsb. Seharusnya dijaga dan didaya gunakan sebaik mungkin termasuk “skillfully – saintific investment”, agar anak cucu dapat hidup sejahtera adil dan makmur. Tapi dasar bangsa ini telah terjadi destroying nation maka hikmah gempa & tsunami di Mentawai pun terjadi, bukankah kita gila dengan jalan pintas yang lebih suka “Mentahnya wae” (dokunya saja?)! Nah kepribadian mental tempe itu hendaknya harus direstorasi dimana banjir bandang “Wasior”, Papua Barat pun muncul! Artinya bangsa & Negara ini sangat membutuhkan para warrior, para patriot bangsa guna menyelenggarakan leadership Nusantara yang baik, tepat dan bersih namun justru itu Nihil, yang ada adalah para Kurawan (Kurawa citizen) sehingga alampun melambangkan gunung Merapi meletus yakni bangsa dan Negara ini tinggal meratapi nasib buruknya saja.

Akibat berbagai pengkhianatan & kebohongan itu akhirnya Gunung Bromo pun meletus, alegoris Sang Hyang Bromo marah yang bisa jadi akan disusul dengan synergisme alam baik antar gunung, atau gempa & tsunami serta wabah pagebluk dan semacamnya. Apa lagi NPKRI ini merupakan cincin api (ring of fire) yang kapan saja gempa dahsyat dapat terjadi dimana seorang pun tiada yang tahu, Walahu ‘alam bishawab.

Oleh sebab itulah marilah kita bersama – sama menjadikan “Budaya sebagai panglimanya”, setelah politik & ekonomi tak mampu mewujudkan amanat proklamasi, amanat penderitaan rakyat (Ampera) dan atau Sila V itu sendiri. Budaya PANCASILA, budaya spiritual bangsa yang sesuai dengan jiwa bangsa Nusantara ini. Kita layak bersyukur bahwa budaya kearifan local ini telah banyak memberi bukti seiring sejarah perjalanan bangsa & Negara bahwa : “Sapa salah bakal seleh, kebenaran itu dapat disalahkan namun kebenaran itu selamanya tidak dapat dikalahkan dan adanya sesanti “Sura dira jayanikanangrat swuh brastha tekap ing ulah dharmastuti” atau “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti”. Dimana arti sesanti tersebut kurang lebihnya adalah bahwa “Betapun sura, berani, sakti & besar kekuasaannya, akan tetapi jikalau untuk tujuan yang tidak benar, tidak adil, tidak baik & angkara murka maka pasti akan sirna oleh budi luhur & rahayu serta sikap kasih dan damai”.

Marilah kita korbankan, kita persembahkan tidak perlu lagi dengan darah & nyawa cukup dengan “EGO” kita saja, persatuan & keatuan bangsa serta kerja keras karena belumlah terlambat, maka Dharma eva hota hanti – Karmane fa dikaraste ma palesyu kadatjana! Mutlak untuk dihayatinya, oleh anak – anak Bumi Pertiwi! Semoga, Mercu suar dunia sebagaimana harapan Bung Karno segera terwujud.

SAMPURNA//Youth Empowering Institution - Yayasan Lembaga Budaya Nusantara - Keluarga Besar Persaudaraan Blokosuto