Rabu, 21 Juli 2010

Dari Kaca Negara melihat Indonesia II.

PEMERINTAHAN RATU DYAH TRIBUANA TUNGGADEWI (1326 – 1351)
& PRABHU HAYAM WURUK (1351 – 1389),
IDENTIKAH DENGAN REZIM HM. SOEHARTO ? (1967 – 1998).

MAJAPAHIT . Paska Prabhu Jaya Negara, pemerintahan dipegang oleh Dyah Rajapatni Gayatri (isteri R. Wijaya, putri Sri Kerta Negara) namun karena dia seorang bikuni maka eksekutip diserahkan kepada putrinya yakni Jayawisnu Wardhana Dyah Tribuana Tunggadewi dimana Gajah Mada dinobatkan sebagai Mahapatih (Perdana Mentri) pada 1331, pada sidang cabinet di Balai Manguntur. Dibalik pemerintahan Tribuana Tungga Dewi, tokoh di belakang layar yang amat disegani adalah Ibunda Suri Dyah Rajapatni Gayatri dan eloknya dalam Rezim Pak Harto, tokoh di belakang layar yang sangat disegani tak lain adalah


HM.Suharto

Ibu Tien Hartinah Soeharto yang konon kedunungan wahyu. Maka sepeninggal Bu Tien, Pak Harto ibarat kehilangan pegangan atau ada yang menggambarkan ibarat wayang ilang gapite ? Benarkah ? Di era Prabhu Hayamwuruk mencapai jaman keemasan namun dengan system rexium (Dewan Tujuh Raja) dan Gajah Mada sebagai Sekretaris Jenderal (Pranalakta de Resika Sapta Prabhu), sebenarnya banyak sejarawan yang melihat menjelang akhir pemerintahan Hayamwuruk telah nampak adanya kemunduran Majapahit, utamanya paska perang Bubat terlebih – lebih setelah era Hayamwuruk berakhir, yang menyisakan perang Paregreg yakni perang saudara yang terlama. Saat rezim Tribuana Tunggadewi dengan Prabhu Hayamwuruk ini (selama 61 tahun) , identik dengan kepemimpinan empat windu Pak Harto yang solid dan kokoh, dunia mengagguminya sebagai macan Asia, dan Pak Harto pulalah yang mengembangkan wawasan Nusantara dengan beberapa satelit komuniksi dengan nama “Palapa”. Namun pada 1997 karena direcoki dan kesakrahan putri – putra & para kroninya, tak ketinggalan maraknya privilege dan KKN serta gaya leadership kedatonan yang represif – otoritanian – militeristik mengakibatkan kemunduran/kehancuran.

Kehancuran tersebut ditandai dengan kroposnya fundamen ekonomi dimana krisis moneter terjadi pada medio 1997 yang berkembang menjadi ultra krisis dimensional, sehingga memaksanya lengser keprabon pada 21 Mei 1998. Setelah menjabat sebagai Presiden untuk ke enam kalinya dimana yang terakhir hanya seumur jagung. Imperium yang ia bangun selama 32 tahun telah mendera rakyat ini dan lebih 10 tahun keadaan berbangsa & bernegara masih belum mampu bangkit dari keterpurukannya dan justru makin tersuruk – suruk menjadi negara termiskin urutan 68 dari 100 negara di dunia.

Bila dilihat leadership Pak Harto tersebut, ada yang berkesimpulan, identik dengan raja Mataram, yang maaf kakinya (konon) kencet yang bertahta di Kartasura, dimana Pamannya pun diburu mau dibunuhnya yang justru akhirnya dinobatkan sebagai Paku Buwono I, dimana sebelumnya puluhan ribu orang termasuk ulama dan kerabat raja yang dianggap makar & mbalela (berseberangan) atau mengganggu privasi sang raja pasti dilibas tanpa ampun. Namun bila dianalogikan dengan situasi dan kondisi ketata pemerintahan ada kemiripan dengan ke dua pemimpin Majapahit tersebut. Uniknya bila King Maker Rajapatni Dyah Gayatri menghilangkan apa yang diwariskan oleh R. Wijaya tentang gen (wangsa/clen), leluhur dimana ia mengagungkan Ken Arok sebagai moyangnya, sehingga gelarnya dipakai olehnya dengan sebutan “Rajasa” demikian juga dengan nama kakek Rajapatni sendiri yakni i “Jayawisnuwardhana (Ranggawuni/Seminingrat)” dijadikan gelar gabungan oleh R. Wijaya menjadi ” Prabhu Srikertarajasa Jayawardhana Dyah Sang Rama Wijaya”. Hayamwuruk pun memakianya demikian pula keturunan – keturunannya.(Jadi tak mungkin Ken Arok pemilik gelar itu super bejat bukan ?) Sayangnya Oleh Rajapatni garis Ken Arok (Rajasa) sengaja diputus dengan menempatkan garis keturunan kakeknya saja yang diutamakan menjadi penerus dinasti selanjutnya, yang kelak menuai konflik. (Lihat Wikramawardhana atau Damarwulan versus Bre Wirabhumi).

Bukankah ini identik pula dengan rezim Pak Harto yang juga dengan sengaja menghilangkan atau memutus jasa besar Bung Karno (Desoekarnoisasi), sebagai pendahulunya yang memerdekakan bangsa ini ? Bahkan (Alm.) Soebadyo Sastrosatomo dalam bukunya “Era Baru Pemimpin Baru – Badio Menolak Rekayasa Rezim Orde Baru” menyebutkan bahwa : ” Sekarang ini seolah – olah sejarah Indonesia itu dimulai dari lahirnya Orde Baru”. Ia menambahkan “yang membedakan antara Bung Karon dengan Pak Harto adalah bila Bung Karno mengorbankan nama baiknya demi rakyat sebaliknya Pak Harto mengorbankan negara demi pribadinya”. Uniknya lagi juga mirip dengan fungsi Tribuana Tunggadewi yang sebagai pelaksana eksekutif berhubung Ibundanya sebagai seorang Bikuni. Sementara Pak Harto dengan “SUPERSEMAR”, awalnya juga hanya sebagai Pjs. Presiden NKRI sebagaimana TAP MPRS No. XXXIII/1967, yang berlaku surut mulai 22 Februari 1967. Anehnya pula pada akhir kekuasaannya juga direcoki oleh putra – putrinya persis pula dengan Prabhu Hayamwuruk ? Adapun soal asmara bila Prabhu Hayamwuruk gagal mempersunting Dyah Pitaloka atau Citraresmi (adik Pamanah Rasa/Prabhu Niskala Wastukencana/Siliwangi) putri dari Prabhu Anggalarang dengan Retna Nastularang atau Dewi Lancang Kamurang, karena terjadinya Perang Bubat dimana seluruh rombongan Temanten termasuk sang raja terbunuh demi mempertahankan harkat dan martabat seorang raja yang berdaulat. Dyah Pitaloka pun tak urung suduk salira alias ikut bunuh diri. Yang mengakibatkan Gajah Mada mendapat sangsi karena dianggap melangkai domain Sang Prabhu Hayamwuruk, sedangkan Gajah Mada semata – mata hanya ingin meluhurkannya sebagai raja Nusantara yang tunggal, oleh sebab itu Pajajaran dianggap sebagai kerajaan bawahan. Sedangkan Pak Harto hanyalah berseliweran rumor dengan seorang artis yang sulit dipertanggung jawabkan . Dari kisah ini apakah tidak ada baiknya bila para elit penyelengara negara ini berfikir secara frontal attack demi nusa dan bangsa seharusnya mendorong munculnya seorang pemimpin baru yang visioner, credibel, relayable, cerdas, teguh, jujur, konsisten dan berani menegakkan sebuah kebenaran dan keadilan semata – mata demi terwujudnya kesejahteraan rakyat sebagai “Solus populi est suprema lex”, kesejahteraan rakyat adalah hukum tetinggi, tidak saling mematikan//. Ada khabar baik bahwa selama ini masyarakat tatar Pasundan menabukan Majapahit dan sebagai refleksi dendam berkepanjangan maka tak ada satu jalanpun di sana yang menggunakan nama Majapahit maupun para raja dan punggawanya//Keprihatinan Pemulung terjawab lewat kasepuhan Kuth Pangrango yang telah membuat suatu “TAMAN GAJAHMADA DIMANA TERDAPAT PATUNGNYA yang SEDANG MENYERAHKAN TONGKAT ESTAFET KEPADA BUNG KARNO” yang berada di Kawasan Cibeas, pantai Selatan Sukabumi//bravo bung kuth//Dan keiinginan Cagub Jabar ? yang ingin membuat film tentang persaudaraan antara Pajajaran dan Majapahit perlu disambut dengan baik dan semoga para sineas dan sejarawan mampu merevitalisasi sehingga tidak justru menonjolkan sifat konfrontatif demi terjalinnya ”REKONSILISASI SEJARAH”.

Guna mendapatkan hikmahnya, sekali lagi kami mohon maaf dan hendaknya dijauhkan dari anggapan bahwa ilustrasi yang disuguhkan ini adalah suatu kebenaran, apa lagi stigmaisasi “BRAWIJAYA I – V, karena belum ada sejarawan yang secara keilmuan menetapkan beliau – beliau itu nama sebenarnya siapa saja dan tahun memerintahnya dari tahun berapa sampai kapan ?. Sungguh sesuatu yang muskil karena sulitnya mencari sumber kepustakaan dan jeda waktu yang lebih separoh millennia. Sementara sejarah yang ditorehkan rezim yang menamakan diri sebagai “Orde Baru” pun (yang saksi hidup masih banyak) hingga kini begitu pekat dan ironisnya justru institusi yang bersangkutan, (maaf TNI AD) nampaknya begitu gamang untuk meluruskan sejarah bangsanya. Seyogyanya sebagai “Dipanya Negara” berkenan melaksanakan wasiat leadership Gajah Mada “ Katakanlah yang benar dengan sebenarnya dan katakanlah pula yang salah dengan sebenarnya”.

Bila itu dilaksanakan (secara benar, tepat dan bersih) maka akan sangat luar biasa dan biarkanlah nantinya rakyat Indonesia yang menilainya. Tidak membiarkan kenanaran sejarah yang justru menimbulkan polemic yang tidak berkesudahan. Seperti buku ajar gara – gara tidak mencantumkan dibelakang “G 30 S” dengan kata PKI, maka spontan Jaksa Agung melarangnya. Tentu menjadi sangat bijak bila Pemerintah mau membuat suatu team pelurusan sejarah bangsa sehingga penilaian terhadap actor sejarah tidak timpang dan sejarah hendaknya tidak diterjemahkan dengan masa kekinian! Telah tiga presiden R. I. Yang wafat dan ke tiganya sama – sama dipuja disanjung dan sekaligus dihujatmya! O

Tidak ada komentar:

Posting Komentar