Rabu, 21 Juli 2010

Dari Kaca Negara melihat Indonesia V .

Menyadari pentingnya sejarah kontemporer maka ulusan ini sengaja agak melebar semata – mata untuk menyuguhkan memori yang bisa jadi telah kita lupakan karena sifat bangsa kita yang pemaaf sehingga justru kita sering melupakan esensi ”guru loka” yang terabaikannya//.

MEGAWATI SEBAGAI IKON SEJARAH, MULAI KIPRAHNYA PADA PEMILU V REZIM ORBA (1992)

Tak dapat dimungkiri bahwa Pemilu Juni, 1992 sudah barang tentu Golkar tetap keluar sebagai pemenang. Sekalipun perolehan suaranya turun menjadi 68,1% (turun 5,1%), sedangkan PPP naik menjadi total 17% dan PDI memperoleh kenaikan yang paling besar yakni 4% menjadi 14,9%. Karena Ketua Umum Suryadi sukses menggandeng putra – putri Bung Karno. Kini ABRI dihadapkan dengan dua pilihan, satu pihak tidak boleh lalai atas isu demokratisasi yang disuarakan oleh PDI dengan clen Bung Karnonya, disisi lain juga harus mewaspadai tindakan Soeharto yang ingin menarik dukungan Islam, munculnya Habibie & pengaruh ICMI nya.
Sidang MPR pada Maret 1993 kembali menetapkan BP. Soeharto menjadi Presiden untuk ke lima kalinya,dan Pak Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden, masa bakti 1993 - 1998. Sebelum Pak Harto menetapkan wakilnya, ABRI telah terlebih dulu mendahului mengumumkan bahwa Try Sutrisno, yang merupakan mantan Panglima ABRI adalah sebagai Wakil Presiden, karena Sudharmono SH sebenarnya tidak disukai di kalangan ABRI. Oleh karenanya Pak Harto merasa di "fait accomply" dan, tampaknya ia mulai tidak percaya penuh lagi kepada ABRI. Ketika Pak Harto membentuk Kabinet barunya yang didominasi oleh (yang sebagaian memberikan stigma sebagai) musuh ABRI, yaitu Habibie dan para pendukung visi industri negara & tehnologi tinggi bagi masa depan Indonesia. Banyak yang beramsumsi bahwa Jenderal Beny Murdani diberhentikan dari Menteri Pertahanan & Keamanan dan Soeharto mempromosikan saudara iparnya, Wismoyo Aris Munandar menjadi Kepala Staff ABRI, yang beberapa tahun kemudian memilih pensiun. Jendral Faisal Tanjung, seorang muslim yang taat dan loyal terhadap Pak Harto, diangkat sebagai Panglima ABRI. Soeharto berupaya mengendalikan Golkar dengan lebih kuat dengan menunjuk seorang sipil yang setia/loyal kepadanya, bernama Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar pada 1993.(tetapi pada 1998 ibarat menusuk dari belakang?).

Sebaliknya di tubuh PDI di bawah Suryadi, Pemerintah menilai tidak lagi aman dengan memasukkan anak – anak Bung Karno. Suryadi tidak menjadi anak yang manis lagi bagi Pemerintah. Maka Pemerintah mulai aktif ikut mengendalikan PDI. Pada saat PDI menggelar konggres IV di Wisma Haji, Medan pada 21 – 25 Juli 1993, terdapat enam calon ketua umum & pemerintah menciptakan konflik internal (managemen konflik) sehingga konggres dari hari ke hari tanpa menghasilkan apa – apa. Maka pada 23 Juli 1993, Jacob Nuwawea dengan tokoh PDI Medan Edy Suparman menabrakkan jib & kijangnya ke pintu gerbang dan menguasai mimbar dengan menyatakan bahwa "konggres telah gagal". Sehingga dalam kevacuman itu 60 DPC mendesak Mega untuk menjadi Ketua Umum namun karena kehati – hatiannya, ia memilih bersikap pasif saja. Maka jalan tengahnya dibentuklah "carateker yang diketuai oleh Budi Harjono dan Latif Pujasakti selaku Sekretaris".

Usai Konggres Medan yang gagal, maka kemudian banyak DPC datang ke tempat kediaman Mega di Kebagusan untuk meminta kesediaannya agar menjadi Ketua Umum. Taufik Kiemas mencoba menjadi tuan rumah yang baik hanya sekedar melayani para simpatisannya saja. Dengan ketulusan dan keramahannya maka bak gelombang datang silih berganti & pada September 1993, setidaknya 71 cabang memberikan dukungan penuh kepada Mega. Maka barulah Taufik Kiemas ikut memprakarsai kemenangan Mega dengan membentuk team sukses yang dimotori oleh Panda Nababan cs. Maka menjelang digelarnya Konggres Luar Biasa (KLB) di Asrama Haji Sukolila, Surabaya, team sukses ini melakukan konsolidasi dengan cara bergerilya sehingga untuk menyebut para pentholan PDI pro Mega menggunakan sandi Rajawali untuk Mega, Garuda untuk Taufik dan Elang I, II dan seterusnya untuk Nababan dan teamnya. Karena begitu risistensinya Pemerintah terhadap Mega sehingga banyak hotel dan penyedia tempat keberatan untuk mengegelar acara temu Mega. Tapi ketua DPD Jatim, Sutjipto & teamnya tidak kekurangan akal baik melalui gang sempit, pintu belakang sampai mengatasnamakan sebuah perusahaan swasta, semata – mata agar konsolidasi dengan Mega tercipta dengan baik. Tekanan terhadap pengurus DPD/DPC yang pro Mega semakin masif, sehingga Ketua DPC Surakarta, Pak Makya yang mendukung pertama kali terhadap Mega terpaksa membuat pernyataan begitu kecewa memilih Mega yang ditujukan kepada berbagai pejabat sipil & militer di Jawa Tengah, karena begitu hebat tekanan yang dilakukan Pemerintah.

Pada 2 Desember 1993, KLB pun dimulai di Surabaya dan Mega pun hampir tak dapat mengikutinya sebagaimana utusan daerah – daerah yang lain yang Pro Mega. Pertentangan kembali muncul saat menentukan system pemilihan Ketua Umum, karena Ketua Carateker menghendaki system formatur yang diketuai oleh Budi Hardjono yang didukung oleh Pemerintah dan ABRI sehingga dengan demikian dapat dipastikan ia otomatis akan menjadi Ketua Umum PDI. Sebaliknya yang pro Mega meminta dengan system pemilihan langsung atau voting. Karena deadlock maka diserahkan kepada Komisi Organisasi, lagi – lagi terjadi baku hantam karena nama – nama yang pro Mega diganti sesukanya atas restu Pemerintah yang sengaja membikin markas pemantau di salah satu ruangan Gedung Komite Olah Raga Nasional Indonesia yang hanya berjarak 200 meter dari tempat KLB. Pejabat sipil & militer dengan berbagai penyamaran ikut memantau dan menghadiri sidang, yang secara inten mempersolid berbagai faksi yang ada, karena disamping kelompok Budi Hardjono ada kelompok 17 (sempalan PDI) yang dimotori oleh Yusuf Merukh & Marsusi, Dudy Singadilaga dll.) serta kelompok Pro Mega. Team sukses Mega terpaksa kucing – kucingan bahkan Yosep, harus bersembunyi di bawah tempat tidur Mega.

Pada hari terakhir, 6 Desember 1993 anggota carateker tak ada yang hadir sehingga ke 27 DPD atas sepengetahuan DPC mengadakan pertemuan yang menetapkan Mega sebagai Ketua Umum, dan baru ketahuan bahwa absennya mereka karena harus memenuhi pertemuan yang digelar oleh team pemantau Pemerintah. Dalam situasi yang tidak menentu seperti itulah Mega mengambil inisiatif dengan mengumumkan bahwa secara defacto, dirinya secara sah menjadi Ketua Umum PDIP karena setidaknya ia didukung oleh 305 DPC dan 256 Cabang atau 84% suara. Pemilihan yang ricuh tersebut alhirnya disepakati oleh kubu Mega, carateker, kelompok 17 dan DPP Peralihan, menyetujui untuk diadakan munas pada 22 – 23 Desember 1993.

Lagi – lagi Pemerintah & Markas Besar ABRI ikut campur terlampau dalam dengan menghendaki Munas hendaknya diadakan di Wisma Kopo, namun akhirnya munas diadakan di Hotel Garden, Kemang Jakarta dari 22 hingga 23 Desember 1993. Untungnya Mabes ABRI menugaskan Agum Gumelar sebagai Direktur A Bais ABRI yang merangkap menjadi Komandan Kopasus menerjemahkan penugasannya Oleh Ari Sadewo untuk mengamankan jalannya Munas ia laksanakan dengan lugas dan tegas yakni apa yang dikehendaki Munas tersebut. Maka pada jam 2200, tanggal 22 Desember 1993, hanya dalam waktu 5 menit Mega berhasil secara resmi terpilih sebagai Ketua Umum PDIP, karena sebanyak 52 fungsionaris (Ketua & Sekjen) DPD dari 27 provinsi secara aklamasi memilihnya.

Angin baru dari petinggi muda ABRI nampaknya memihak padannya. Namun karena banyaknya faksi akhirnya Mega terpaksa harus mengakomodir kepentingan mereka dengan memasukkan Gerry Mbatemoy dari kelompok Persatuan & Kesatuan (gabungan kelompok anti Mega) menjadi jajaran pengurus PDI. Akhirnya terbukti dia bikin ulah dengan dukungan Yayasan Solidaritas dan Generasi Muda PDI memprovokasi bahwa jajaran PDI harus bersih dari bau – bau komunisme sehingga tak kurang 300 orang pengurus ia laporkan ke Panglima ABRI untuk ditindak lanjuti, termasuk nama Taufik Kiemas dan ketua DPD Jawa Barat dll. (Yang setahun kemudian oleh Direktur Bais B, Hendro Priyono, nama Taufik Kiemas, dan lain - lain dinyatakan bersih diri).

Disamping itu Gerry terus bermanuver membentuk DPP PDI Resuffle di bawah kepengurusan Yusuf Merukh. Dan terjadilah penculikan Alex sang sekjen PDI serta pengkhianatan Fatimah Ahmad atas backup Kasospol ABRI dll. yang mengantarkan digelarnya Konggres IV di Medan pada 20 hingga 24 Juni 1996 yang akhirnya Pemerintah menjilat air ludahnya sendiri dengan merestui terpilihnya kembali Suryadi yang tadinya tak disukai dengan selalu menyatakan bahwa Suryadi adalah cacat hukum (karena kasus penculikan & penganiayaan dua orang anak buah Yusuf Merukh) menjadi Ketua Umum PDI dengan Butu Hutapea sebagai Sekjen dan Fatimah Ahmad sebagai bendahara.

Pada 19 Juni 1996 di Jakarta digelarlah longmars PDI Mega, sebagai protes akan digelarnya Konggres tersebut. Dan pada saat dimulai sidang, di Jakarta kembali terjadi unjuk rasa yang dikawal oleh aparat keamanan namun setibanya di Gambir mulailah tersendat karena melewati Garnisun sehingga meletuslah apa yang disebut dengan “Peristiwa Gambir” itu.

Akibatnya menyulut timbulnya mimbar bebas di depan kantor secretariat PDI Mega yang sebelumnya telah diizinkan oleh Pandam Jaya, Sutiyoso. Akan tetapi Pemerintah semakin gerah & upaya penyingkiran Megawati semakin nyata sehingga kantor secretariat PDI diserang masa yang disinyalir dilakukan oleh orang – orang suruhan Suryadi dan aparat keamanan itu sendiri. Yang terkenal dengan “Peristiwa Kudatuli” atau “Sabtu Kelabu”, 27 Juli 1996. Koban nyawa kembali bergelimpangan dan Komnas HAM yang diketuai oleh Baharuddin Lopa, memberikan laporan dengan adil. Penyebab Kudatuli sendiri, konon sebenarnya adalah berkaitan dengan rencana Menlu AS, Christhoper Warren ingin berkunjung ke Indonesia dan menemui Megawati pada 28 Juli 1996.Maka sebelumnya harus didului guna melakukan sock terapy.

Para mahasiswa yang kritis terutama yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dikomandani oleh Budiman Sujatmiko, jebolan mahasiswa UGM dianggap sebagai biang keladi terjadinya Kudatuli, sehingga menjadi target aparat keamanan, ia dan teman – temannya diburu dengan stigma sebagai klendestein atau penjelmaan neo komunisme Indonesia, sehingga umat Islam atas ingatan kolektifnya begitu mudah terpancing ikut mengutuk dan memburunya.

Karena PDI Mega didzolimi oleh Pemerintah yang sebenarnya giat mengkampanyekan "Sadarkum", untuk pembelajaran sebagai negara hukum maka Mega memilih jalur hukum untuk mengadukan pelanggaran Pemerintah & ABRI yang menginjak – injak kedaulatan rakyat dengan digelarnya Konggres Medan tersebut. Mendagri Yogie S Memet, Kasospol ABRI Sarwan Hamid dan Panglima ABRI Faisal Tanjung serta Pengurus puncak PDI Konggres Medan, melalui Ketua Team Pembela Demokrasi Indonesia R. O Tambunan (yang tokoh Golkar ini) mengadukan mereka ke Pengadilan. Taufik Kiemas beranggapan bahwa satu – satunya itulah cara perlawanan yang tepat bagi PDI Mega.
Eskalase kerusuhan social pada era 90 - an telah mulai nampak, banyak gereja yang diserang dan dibakarnya, korban jiwa berjatuhan. ABRI ikut terlibat beberapa insiden termasuk terhadap aktivis buruh Marsinah yang diculik, diperkosa dan dibunuh, di Jawa Timur. Medan pun pada April, 1994 rusuh, demontrasi yang digerakkan oleh SBSI, Dr. Mohtar Pakpahan yang akhirnya ia pun dijebloskan dalam penjara.

Nampaknya memang sudah menjadi kehendak alam, geliat dan gelombang raksasa demokrasi menerjang - terjang Nusantara sementara krisis moneter terjadi pada Juli 1997 yang menyebabkan timbulnya ultra krisis dimensional. Skandal mobil Timor terjadi pada 1996 dengan mengimpor mobil tak kurang dari 45.000 unit CBU dari Korsel, yang mendapat protes keras dari Jepang & Amerika Serikat. WTO memenangkan gugatan mereka dan Indonesia dinyatakan kalah dengan membayar klaim. Dosen UI yang amat vocal yang sekaligus sebagai pentolan Partai PUDI Sri Bintang Pamungkas mengirim kartu lebaran ke berbagai pihak dengan menuliskan penolakannya terhadap pencalonan kembali Soeharto.

Sementara Pak Harto begitu yakinnya menaikkan harga BBM dan TDL listrik, seiring panen raya, pada 4 Mei 1997, tapi tak disadarinya bahwa ini pulalah sebagai salah satu pemicu kehancuran ekonomi Indonesia & jatuhnya Pak Harto. Sementara Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Dr. Amin Rais, menyuarakan syarat & kriteria peresiden mendatang dan secara intensif mengadakan seminar – seminar tentang kepemimpinan masa datang. Kaset – kaset pidatonya diburu banyak penggemar. Ia vokalis yang datang dari kota Pelajar, Kota Budaya atau Kota Gudeg guna melaksanakan peran kesejarahannya.

Krisis Asia menjalar dari Thailand ke Indonesia. Bila kurs pra krisis Rp 2.500/US$1 saat itu melonjak , pada Januari 1998 telah mencapai Rp 17.000/US$1 atau kehilangan 85% nilainya. Perjanjian dengan IMF pada bulan Oktober 1997 mengakibatkan ditutupnya 16 bank, akan tetapi 2 bank yang dimiliki keluarga Soeharto dibuka kembali. Dengan demikian IMF menilai bahwa KKN telah benar – benar terbukti merajalela.
BLBI yang lebih dari 634 triliun dikucurkan tapi sayangnya telah disalah gunakan oleh para debitor para konglomerat hitam yang kasusnya berlarut – larut hingga kini yang semakin kusut masai sehingga menjerat mantan gubernur BI, Burhanuddin Abdulah dkk. serta keterlibatan beberapa anggota DPR.

Dan pada akhir Januari 1998 ia menyampaikan niatnya kepada IMF untuk mencalonkan diri sebagai presiden untuk ketujuh kalinya dengan Habibie sebagai Wapres, maka rupiah kemudian mencapai kurs yang paling jelek sepanjang sejarah NKRI berdiri.

PEMILU VI DI ERA PAK HARTO, 1997

Pada kampanye Pemilu Mei 1997, merupakan refleksi ke tidak - puasan masyarakat atas keadaan social politik bangsa. Kampanye saat itu merupakan kampanye terbrutal dalam sejarah pemerintahan Pak Harto. Megawati yang didzolimi oleh rezim Seharto, terpaksa mengumumkan bahwa dirinya tidak akan menggunakan hak pilihnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada para pendukungnya untuk menggunakan hati nuraninya. Mega berani mendeklarasikan dirinya “Golput”.

Dan berkad safarinya Mbak Tutut yang selalu didampingi oleh Gus Dur, Golkar meneguk rejeki nomplok, Golkar memperoleh 74,5%, dan PDI hanya memperoleh 11,9% (karena penggembosan Megawati, turun 3%) dan PPP mendapat 22,5%, yang ironisnya perolehan suara terwahid bagi Golkar ini seiring terjadinya masa – masa kerutuhan rezim Soeharto. Di Madura, pendukung PPP yang tidak puas membakar gedung – gedung Pemerintah & Golkar serta menghancurkan kotak – kotak suara sehingga pemungutan ulang pun harus diadakan kembali di sana. MPR kembali menetapkan HM. Soeharto sebagai presiden dan Prof. BJ. Habibe sebagai Wakil Presiden, masa bakti 1998 – 2003. Saat pelantikan Pak Harto , tanggal 11 Maret 1998, kejadian misterius terjadi yakni saat Ketua MPR, H. Harmoko mengetukkan palunya, kepala palunya terbang melesat. Yang ternyata itu pertanda alam juga atau semio buwana loka. Perjuangan Pak Harto, sisi baik Pak Harto semua seolah terkubur, yang tersisa hanyalah sisi buruknya semata. Andai saja Pak Harto itu berkenan menuruti saran dari berbagai pihak dan tuntutan hati kecilnya (TOPP) sendiri untuk tidak mau menjabat lagi presiden pada 93, tentu tidaklah menyedihkanya.
YANG MENJADI CATATAN : TERNYATA HARI WAFAT ORANG TUA, KAKEK - NENEK YANG DITABUKAN UNTUK MENGGELAR HAJAT BESAR, TERBUKTI DENGAN PENGANGKATAN PAK HARTO = HARI WAFATNYA BUNG KARNO!MINGGU KLIWON MAKA HASILNYA PALU PUN LONCAT DAN TURUN TAHTA DENGAN BEGITU TRAGIS!


SUKSESI MEGAWATI MENGGANTIAKN PRESIDEN GUS DUR

Bagi MPR, ibarat suwe mijet wohing ranti, Gus Dur dengan begitu mudah dilengserkannya setelah sebelumnya meminang Megawati untuk menjadi suksesor sebagai RI I., yang kemudian dilantiknya pada 23 Juli 2001. Ironis, stigma haram pun lenyap seiring angin sepoi – sepoi basah yang menyelusup pada diri para penyelenggara negara kala itu. Politisasi agama semakin vulgar adanya.
Tragis, sungsang bawana balik telah mulai terjadi, peri keadaban mulai ditanggalkan, sebuah komitmen, tak layak menjadi ikatan moral karena kapan saja tidak suka maka komitmen pun merana. Nilai moralitas – riligiusitas & spiritualitas telah tergadaikan & sebenarnya ini merupakan panen raya dari apa yang selama 32 tahun dikembangkan oleh rezim Orde Baru dengan managemen konfliknya. Fragmentasi politik dengan anarkisme telah menjadi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sunggu ironis, bangsaku !.

SERUNYA PEREBUTAN KURSI WAKIL PRESIDEN

Era reformasi setidaknya membuncahkan harapan demokrasi karena untuk pemilihan wakil presiden demikian serunya. Empat cawapres yakni Akbar Tanjung, Susilo Bambang Yudhoyono, Siswono Yudhohusodo dan Agum Gumelar. Karena alasan tidak ada yang menang mutlak maka begitu alot sehingga memerlukan tiga kali putaran.
a. Dalam sidang istimewa hari ke lima, pemungutan suwara cawapres - adalah sebagai berikut :
Hamzah Haz (238); Akbar Tanjung (177); Susilo Bambang Yudhoyono (122); Agum Gumelar (4)
dan Siswono Yidhohusodo (31) dari 609 anggota MPR yang hadir.
b. Putaran kedua : Hamzah Haz (254); Akbar Tanjung (203) dan
Susilo Bambang Yudhoyono (147), 3 abstain dan 2 rusak.
c. Putaran ke tiga : Hamhaz Haz (240), Akbar Tanjung (237) 29
abstain dan 4 tidak sah dari 610 orang anggota MPR.

Akhirnya Hamzah Haz berhasil menjadi wakil presiden R. I. dan dilantik pada 26 Juli 2001.

Karena tokoh – tokoh reformis terpesona saling mempertontonkan kecanggihannya berakrobatik demi sebuah kekuasaan, menjadikannya mereka lupa bahwa sebenarnya "semuanya mengemban amanat rakyat atas tuntutan reformasi paripurna".
Akibatnya yang terjadi adalah gelap mata sehingga tanpa mandat rakyat, anggota MPR 1999 – 2004 memandang bahwa kekisruhan berbangsa & bernegara ini akibat jeleknya UUD 1945 maka tidak ada jalan lain kecuali UUD 1945 tersebut harus dipermak, direstorasi dan diganti total sehingga memerlukan empat kali amandemen. Mereka lupa bahwa "The man is behind the gun". Undang – Undang apalagi itu UUD yang seharusnya dilaksanakan dengan baik dan benar , tepat & bersih (suci) (bener tur pener serta suci). Ini tidak (dapat) melaksanakannya namun justru mempermaknya sekehendak hatinya.
Akibatnya terjadilah "kecelakaan/tragedi/bencana konstitusi", itu !

Sebagai pemegang mandat rakyat, yang apa lagi terdiri dari insan – insan religius konon dalam mengamandemen UUD 1945 nampaknya tidak mendasarkan kepada Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa. Rakyat Sang pemilik sah kedaulatan bertanya – tanya apakah sebelum melakukan amandemen bagi yang beragama Islam telah terlebih dahulu melakukan pendekatan diri kepada Sang Khaliq guna mendapatkan "enlightening - pencerahan – NYA" ? apakah dengan laku shalat hajat, istikarah, tawasul, tahanut atau bagi yang lain dengan samadi – meditasi atau bahkan dengan berpuasa, sebagaimana dicontohkan oleh Mahapatih Gajah Mada dan raja – raja masyhur lainnya ? Sedangkan saat saban hari menggelar sidang MPR pun konon tidak didahului dan atau ditutup dengan doa. Kalau benar demikian adanya, kemanakah penghayatan spiritualitas – religiusitas mereka ? Otomatis secara spiritual Sila I Pancasila tidak lagi terjiwai !

Oleh sebab itu keputusan apapun yang diambil tidak pernah mencerminkan terpenuhinya amanat penderitaan rakyat yang sekaligus tentunya amanat Tuhan Seru Sekalian Alam. Fox Dei – Fox populi. Kebijaksanaan hanya tertuang dalam kalimat, gumpalan ribuan ton kertas yang jauh dari penghayatan dan realitas. Klaim Ketua MPR, Amin Rais bahwa amandemen UUD 1945 adalah merupakan sumbangsih & maha karya yang bijak bestari oleh anggota MPR (1999 – 2004), sejatinya pemutar balikan suatu fakta, adanya.

Semua peri kehidupan berbangsa & bernegara harus diatur dengan belasan ribu undang – undang. Kita lupa bahwa sebaik apapun undang – undang di tangan orang – orang yang tak berbudi maka tidak akan ada artinya apa – apa. Maka pernyataan Taverne yang menyatakan : "Berikan kepadaku hakim dan jaksa yang baik, maka undang – undang yang burukpun saya dapat membuat putusan yang baik. Dan Gerry Spence, advokat senior AS menyakan : "Sebelum menjadi ahli hukum profesional jadilah manusia yang berbudi luhur (evalued person) terlebih dulu, kalau tidak, para ahli hukum hanya akan lebih menjadi monster dari pada malaekat penolong orang susah". Adalah benar & mutlak adanya.

Dari berbagai peristiwa tersebut bahwa "budaya tiruan – bangsa imitasi" serta "ambisi kekuasaan" ternyata justru dapat menghancurkan bangsa dan negara. Sehebat apapun yang namanya tiruan adalah tetap tiruan. Maka hipotesis Ibnu Khaldun (1332 – 1406M) yang menyatakan bahwa : "Bangsa pecundang gemar meniru bangsa yang lebih kuat, baik dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama, gaya hidup serta adat istiadat", adalah benar adanya.

SATRIA PININGIT HAMUNG TUWUH
(Presiden V Megawati Soekarnoputri (23 Juli – 20 Oktober 2004).

Ia acap kali didzolimi oleh rezim Pak Harto bahkan sering dilecehkan sebagai ibu rumah tangga hingga masa reformasi. Nampaknya makna piningit disitulah sehingga mereka tak tau bahwa Mega pada saatnya akan memimpin negeri ini. Makna hamung tuwuh (hanya tumbuh) karena ia putri Proklamator & mantan Presiden I, Dr. Ir. H. Soekarno, yang akan mengikuti jejak langkah ayahandanya. Sayang sebagai pemenang Pemilu 1999, ia tidak serta merta terpilih sebagai presiden ia diganjal oleh Poros Tengah dengan isu jender yang menyakitkan.

Mega adalah ikon demokrasi dan atas kepeloporannya menempuh jalur hukum terhadap pejabat negara seperti Panglima ABRI, Faisal Tanjung; Kasospol ABRI Syarwan Hamid dan Mendagri Yogi S Memet, yang sebelumnya adalah hal yang amat sangat tabu dan tak seorang pun berani melakukannya. Ia juga sebagai ikon sadarkum sehingga mulai saat itulah bahwa rakyat tak lagi merasa takut terhadap para pejabat yang sewenang – wenang. Sadarkum yang digalakkan oleh rezim Pak Harto via menteri penerangan Harmoko, ibaratnya senjata makan tuan atau senjata bumerang yang mengenai dirinya sendiri.
Sayangnya ia ditakdirkan hanya bertumbuh (hamung tuwuh) yang belum sampai berbuah.

DAUR ULANG SEJARAH :
Rezim Singhawikramawarddhana Dyah Suprabhawa, Bre Tumapel – Bre Pandan (s) alas atau Brawijaya IV (1466 – 1474), Identik Dengan Rezim Megawati Soekarnoputri (2001 – 2004)

Sebenarnya oleh ayahandanya BUNG KARNO, Mega dan atau kakak dan adik – adiknya dilarang untuk menjadi presiden atau terjun di dunia politik. Karena tidaklah mudah dan enak menjadi seorang Presiden yang sejati karena seluruh hidupnya harus diabdikan kepada kepentingan rakyat.

Tapi alam berkehendak lain, sementara Ibu Megawati Soekarnoputri ibaratnya Brawijaya IV (walau secara supranatural ada yang menyamakan beliau dengan keberadaan Kencana Wungu ?).

Bila menengok masa Majapahit, apa yang diperjuangkan oleh Pangeran Bre Wirabhumi ternyata tidak sia – sia karena putrinya Suhita (yang oleh foklore dikenal dengan Waita Puyengan) berhasil menjadi ratu paska Damarwulan tersebut. (Ada sejarawan yang menyatakan bahwa Pangeran Bre Wirabhumi ada yang menyatakan tewas di tangan Raden Gajah di tengah laut sementra sejarawan lain menyatakan bahwa antara Bre Wirabhumi dengan Brawijaya I (Damarwulan) telah mengadakan agreement atau consensus agar putrinya kelak dijadikan ratu Majapahit. Hal ini menurutnya ditandai dengan adanya candhi Minak Jinggo dan Damarwulan berada di dalam satu khomplek ?).

Mungkin itu yang lebih mirip dengan rezim Megawati yang merupakan hasil kompromistis dari poros Tengah setelah Gus Dur dilengserkannya.
Bila Megawati adalah putri Presiden I Republik Indonesia yang nota bene sebagai ibu rumah tangga demikian pula Suhita, dia adalah putri Adipati Blambangan, Pangeran Wirabhumi yang juga sebagai istri Wikramawardhana. Namun karena alur bahasan sequensikal (berurutan) tidaklah perlu menjadi polemik adanya semata – mata guna menangkap tanda – tanda alam yang bias kit abaca.

GODO WESI KUNING, nampaknya berpindah kepemilikannya dari Damarwulan (Brawijaya I) hingga Brawijaya V ? yang bisa dialegorikan dengan PANCASILA oleh NPKRI. Nampaknya warisan Majapahit yang kini berada di tangan para penyelenggaranegara akan dimintai pertangung jawaban, nah siapkah ?.

Semoga uraian di atas dapat menambah perbendaharaan kita semua//Mohon maaf dan nyumanggaaken dateng kawicaksanan para kadang//salam dan doa//SAMPURNA//PEMULUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar