Selasa, 02 November 2010

MBAH MARIDJAN – PEMIMPIN HARUS BERTINDAK BENAR AGAR DUNIA TENTERAM

Judul ini saya kutip dari berita Republika Online perihal kenangan dari Bapak KH Hasyim Muzadi tentang meninggalnya mBah Maridjan – juru kunci gunung Merapi. Kutipan yang selengkapnya adalah: Saya menjadi ingat pesan Mbah Maridjan pada tahun 2006 lalu. Beliau berpesan dalam bahasa Jawa. “Panjenengan sak konco poro piageng, kedah ‘temen lan sak temene’ mugi ndonyane tenterem”. (“Bapak dan semua teman-temannya para pemimpin harus “benar yang sebenarnya” mudah-mudahan dunianya tenteram”).

Adalah suatu nasehat dari rakyat kecil buat para pemimpinnya. Mbah Maridjan walaupun hidup sebagai rakyat kecil - petani - sambil mengemban tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi, tetapi mempunyai banyak kearifan lokal yang dipegang teguh dari apa yang diketahui secara turun temurun yang mendarah daging yang sudah menjadi bagian dari budaya lokal di Jawa. Hal ini perlu dicermati kalau para pemimpin di Indonesia mau mendengar apa yang diutarakan oleh rakyat kecil.

“Temen lan sak temene” bisa diartikan sebagai “benar yang sebenarnya” adalah kata-kata besar tentang kebenaran yang sebenarnya. Secara filosofis memang bisa dikaji apakah ada kebenaran yang sebenarnya kecuali kebenaran dari sudut pandang ataupun kepentingan orang per orang. Tapi yang dimaksud oleh mBah Maridjan barangkali adalah suatu sikap benar yang tulus, bukan sikap benar yang dipalsukan (pura-pura), atau bukan sikap mau benarnya sendiri. Suatu sikap benar dari para pemimpin yang juga diamini oleh rakyat banyak sebagai kebenaran secara “common sense” yang membawa kebaikan ataupun ketenteraman (kesejahteraan) rakyatnya.

Apakah ada relevansinya antara para pemimpin yang “benar sebenarnya”dengan ketenteraman dunia? Tentunya dunia yang tenteram disini yang dimaksud sesuai dengan profesi mBah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi (yang selalu bergolak dan menimbulkan bencana alam) adalah dunia yang bebas dari bencana alam. Jadi apakah ada relevansinya antara para pemimpin yang “benar sebenanya” dengan bencana alam yang bertubi-tubi menimpa Indonesia???

Manusia dan alam sekitarnya bahkan dengan alam semesta punya hubungan timbal balik. Sudah pasti apapun sikap manusia ataupun tingkah laku manusia yang baik ataupun yang buruk akan berakibat pada alam begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu manusia memerlukan suatu hubungan yang serasi dengan alam lingkungan sekitarnya. Suatu tingkah laku yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan alam, pasti alam akan bereaksi sesuai dengan tingkah laku manusia. Tingkah laku yang buruk yang merusak keseimbangn alam, alam akan bereaksii merusak seimbang dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh tingkah laku manusia. Ini adalah hukum alam.

Kenapa justru para pemimpin yang disoroti tingkah lakunya agar “benar yang sebenarnya” bukan orang biasa? Karena pemimpin punya banyak pengikut. Tingkah laku para pemimpin punya daya “multiplier effect” atau efek membesar, tingkah laku yang buruk dari para pemimpin otomatis akan diikuti oleh para pengikutnya. Kalau tingkah laku para pemimpin itu buruk dan menimbulkan kerusakan yang besar pada alam (secara “multiplier effect”, tingkah laku buruk ini akan diikuti oleh berjuta-juta pengikutnya), oleh karena itu jangan disalahkan kalau alam juga berekasi secara kontan dengan merusak lingkungan manusia berupa bencana alam sesuai dengan kerusakan terhadap alam yang telah dilakukan oleh para pemimpin (sadar atau tidak sadar).

Lebih dari itu, seperti yang telah saya tulis sebagai komentar tulisan Bp. Sriwidada Putu Gedhe Wijaya di Facebook "AWAS MERAPI" DAN KIDUNG FUTURISTIK YANG NYALA WADI (25 OKTOBER 2010) sebagai berikut: Pemimpin bangsa Indonesia yang besar ini tidak cukup menguasai ilmu lahir saja. Sudah jelas pemimpin tertinggi bangsa saat ini tidak mengerti apa-apa tentang ilmu bathin yang harus dipunyai seorang pemimpin yang harus punya "prabawa" bukan hanya terhadap orang lain tapi juga terhadap alam. Kita harus punya pemimpin yang dekat dengan Allah SWT sehingga bisa menguasai alam secara spirituil untuk mencegah terjadinya bencana. Ini adalah tanggung jawab pemimpin seperti yang diajarkan oleh leluhur bangsa Indonesia dimasa lalu.

Hal ini bisa dieloborasi lebih lanjut bahwa apabila para pemimpin dalam hatinya tertanam kecintaan terhadap alam lingkungan sekitarnya dengan “benar yang sebenarnya”, tindakan dan arahan akan selalu dilakukan untuk pelestarian alam lingkungan sekitarnya dan meyakinkan agar dilaksanakan (dieksekusi) sesuai dengan apa yang ada dalam alam bathinnya. Tapi kalau alam bathinnya tidak sensitif terhadap gejala alam maupun lingkungan masyarakat sekitarnya, arahan akan keliru, taruhannya adalah negara dan kesengsaraan rakyatnya. Apalagi kalau memang tidak punya alam bathin, adanya adalah melihat kebutuhan lahir (phisik), hanya fokus pada kebutuhan dirinya sendiri, sudah barang tentu keseimbangan alam akan tergangggu dan alam bereaksi dengan gejala perusakan yang terus menerus.

Bencana alam akan terus berjalan dengan eskalasi yang makin membesar, kecuali ada kesadaran massal para pemimpin agar sadar sesuai pesan mBah Maridjan bahwa para pemimpin haruslah bersikap “temen lan sak temene” bertingkah laku “benar yang sebenarnya”. Mengasah kesadaran bathinnya untuk mengerti keserasian hidup dengan alam sekitarnya. Seperti teladan sikap mBah Maridjan yang kini sudah menyatu dengan Gunung Merapi.

Depok, 28 Oktober 2010.

Catatan: FB.Wiranto Partosudirdjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar