Catatan : YLBN
PENDAHULUAN
Paska alam memperdaya Ketua MPR Taufik Kiemas pada hari ulang tahun peringatan “Hari Kesaktian Pancasila”, 1 Oktober 2010 dimana sekedar membaca teks PANCASILA saja salah, kini Prsiden Pak Beye dipinjam oleh alam untuk mewartakan tentang betapa pentingnya peran dan ketauladanan sosok Sri Sultan HB IX dan Daerah Istimewa Jogyakarta yang fonumental sebagai pengikat Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia yang sekaligus sebagai rahim yang mengandung “janin penyelamat bagi NPKRI” yang samasekali tak bermodal kecuali teks Proklamasi & bendera Sang Saka Merah Putih serta tekad kesatuan dan persatuan yang merah membara seluruh bangsa Indonesia. Beruntung ada sosok kenegarawanan yang visioner, revolusioner, transformator dan patriotik serta murah hati yakni Ngerso Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwoino IX yang segala harta kekayaannya diinjeksikan kepada birokrat bayi NPKRI dan menyemai skill investment dengan menjadikan Pagelaran Kraton dijadikan pusat kegiatgan belajar – mengajar bagi Universitas Gajah Mada sehingga semuanya dapat tumbuh laksana Wisanggeni yang dibakar oleh apinya kawah candro dimuko.
Berkat peran serta Sri Sultan HB IX dan kesultanannya, maka tak dapat dipisahkan antara NKRI dengan DIJ atau bahkan dapat dikatakan “NKRI adalah DIJ dan DIJ adalah NKRI”. Maka adanya pernyataan Presiden Pak Beye yang menyatakan bahwa : “Sistem monarki seperti yang terjadi di DIJ tidak bisa dipertahankan karena bertabrakan dengan nilai – nilai demokrasi …” (Kompas, Saptu 27 November 2010). Nah dengan pernyataan tersebut identik dengan kesalahan Ketua MPR tersebut dimana Pak Beye dianggap tidak mengerti sejarah perjuangan khususnya paska deklarasi kemerdekaan bangsa atau mengkhianati amanat Bung Karno “Jasmerah”.
Yang kontan saja mengusik ketenangan warga Jogya khususnya dan warga Indonesia pada umumnya, di tengah rasa traumatis dan derita nistapa korban erupsi Gunung Merapi yang meletus mulai 26 Oktober 2010. Maka pengibaran bendera pusaka Merah Putih setengah tiang yang dikibarkan secara pribadi oleh Wali Kota Jogyakarta & digelarnya “Sidang Rakyat” termasuk juga DPRD Jogyakarta pada Senin 13 Desember 2010 atau 6 Suro 1944 dimana seluruh fraksi kecuali Partai Demokrat memutuskan penetapan bagi Sultan HB dan Sri Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur menjadi keputusan aklamasi.
Berbagai kejadiaan yang merupakan min aayaatillah, ayat – ayat TUHAN masih saja luput dari kesadaran para elit penyelenggara Negara untuk mengambil hikmah dibalik semuanya itu.
Maka kebijakan yang diambil oleh para penyelenggara negara, nampaknya merupakan suatu "blunder", yang harus dipertanggung jawabkan kepada pemilik sah kedaulatan yakni rakyat & Bunda Pertiwi serta juga kepada Sang Khaliq, Tuhan Seru Sekalian Alam. Wajah buruk atas blunder tersebut antaranya ; “ Diwakili oleh perilaku koruptif yang sistemik & merasuk di sekujur tubuh bangsa Indonesia dengan tingkat kegawatan yang membuat miris siapapun yang mencintai bangsa ini. Spektrum peri laku korup sudah mulai dari niat memanipulasi penyusunan dan menyalah gunakan regulasi (termasuk RUU DIJ) sampai peri laku yang merupakan manifestasi sikap tamak & serakah tanpa rasa malu. Selain itu, ada pula korupsi yang dilakukan sekedar mengatasi himpitan hidup yang menyesakkan". (Kompas, 11 Maret 2008, "Korupsi atas nama Pemberantasan Korupsi").
Bahkan komitmen, amanat, wasiat dan warisan founding fathers tentang Negara Proklamasi dengan Pancasila dan UUD 1945nya pun tak lagi dipedulikannya.
Bung Karno menyatakan bahwa : “Revolusi adalah perjuangan” Firman TUHAN inilah gitaku :”TUHAN tidak merubah nasib sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merubah nasibnya sendiri” QS : Ar Ra’d ayat 11. (Ref pidato 17 Agustus 19633 : Gesuri).
Itu pula yang telah dilakukan oleh Sultan HB IX sehingga meninggalkan suri tauladan tentang pengabdiannya kepada rakyat dan negara yang dibukukan oleh penyuntingnya dengan judul "Tahta Untuk Rakyat". Secara spiritual jiwa & pengabdian seperti itu dapat disebut sebagai "Ngawula Dumateng Kawulaning GUSTI". Maka tak dapat diingkari, tanpa campur tangan beliau, praktis NKRI tidak pernah ada sehingga tidaklah berlebihan bila kita nyatakan bahwa " Jogyakarta adalah NKRI dan NKRI adalah – Jogyakarta". Itulah peran kesejarahan yang memang menjadi kehendak alam itu sendiri, dan mengapa tidak oleh kesultanan – kesultanan yang lain ?. Maka tidaklah elok bila ada yang iri hati. Bahkan Bung Karno pun pernah menandaskan bahwa “Jogya adalah Jogyaku; Republik adalah Republikku dan Proklamasi adalah proklamasiku”. Bung Karno menyatakan juga bahwa “Law can not stand against bayonets” dan mensitir bahwa “there can be no peace until there is peace in the human hearts”. Ketertiban dan keamanan bukalah ibunya kemerdekaan, tetapi anaknya kemerdekaan”.
Oleh karenanya siapapun yang tak memikul dan terpikul oleh nature akan digilas oleh alam itu sendiri. Mari kita tunggu babak – babak baru yang akan terjadi.
BAGIAN I
HIJRAHNYA NPKRI DAN PERAN JOGYAKARTA
A. SEKILAS TENTANG JOGYAKARTA
Bila (Alm.) Soebadio Sastrosatomo tokoh Patai Sosialis Indonesia yang Soekarnois sekalipun pernah dipenjarakannya, dalam salah satu bukunya berjudul "Soekarno adalah Indonesia – Indonesia adalah Soekarno". Maka seiring peran kesejarahan Jogja dapat pula dianalogikan bahwa "Jogja adalah NKRI – NKRI adalah Jogja", sehingga sebagai "Daerah Istimewa", seharusnya melekat & memperoleh hak keistimewaannya selama Republik Indonesia ini berdiri & tidak boleh digantikan oleh apapun, apa lagi hanya demi jargon "demokrasi dan HAM". Jogya sebagai taman mininya Indonesia, dan sejarah sosiologis serta cultural - filosofis & spiritual, Jogyakarta seharusnya tak boleh dinafikan oleh siapapun, dengan alasan apapun juga karena tanpa andil Jogyakarta maka NKRI tak akan pernah terbentuk dan tak akan dapat dipertahankannya hingga kini.
Mengapa ?, karena kodrati Jogyakarta adalah kehendak sejarah itu sendiri. Nampaknya sudah merupakan kehendak alam bahwa Jogyakarta senantiasa harus melakonkan peran kesejarahannya. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri pada 1755 sebagai konsekwensi adanya "Perjanjian Giyanti" setelah Belanda selama delapan tahun berperang melawan KPH. Mangkubumi yang didukung oleh KPH. Mangkunegoro (RM. Sahid yang juga menantunya) juga oleh Tumenggung Martopura yang sebelumnya memberontak terhadap Paku Buwono II yang hanya dapat ditaklukkan oleh KPH. Mangkubumi tersebut.
Kemudian kerajaan Mataram dibagi dua dimana SHSKS. Paku Buwono III menguasai nagari Surakarta Hadiningrat sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh KPH. Mangkubumi yang kemudian bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I, Senopati Hing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah, saat beliau masih berumur 38 tahun. Sultan HB I, hamengkoni wewengkon : Ngayogyakarta, Sokawati Pajang, Bagelen, Kedu, Madiun, Magetan, Grobogan, Caruban, Pacitan, Tulung Agung, Mojokerto, Bojonegoro, Kalangbret, Sela, Bumi Gedhe dan Wirasari.
Sementara Kadipaten Pura Paku Alaman berdiri pada 1813 yang kemudian berwilayahkan Kulon Progo.
Di era abad XX, Pemerintah Belanda mengakui keberadaan Pemerintahan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII, dengan mengeluarkan kontrak politik masing – masing dalam staatsblat 1941 No. 47. dan No. 51.
Sungguhpun demikian begitu Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Bung Karno & Bung Hatta, pada 17 Agustus 1945, segera pada 19 Agustus 1945 Sri Sultan Hamengku Buwana IX sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat segera mengirim telegram kepada Proklamator dengan mendeklarasikan diri bahwa Jogyakarta adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI. Maka pada tanggal yang sama sebagai rasa hormat dan penghargaan, Bung Karno mengeluarkan "Piagam Kedudukan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII".
Pada 5 September 1945 Sri Sultan IX dan kemudian disusul oleh Paku Allam VIII, mengeluarkan maklumat tentang kedudukan Jogyakarta. Deklarasi tersebut berbunyi :
1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah
Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai kepala daerah memegang
segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu
segala urusan pemeritahan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai
saat itu berada di tangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan kekuasaan
lainnya beliau pegang sepenuhnya.
3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan
Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan
tanggung jawab Sri Sultan Hamengku Buwono IX atas Negeri Ngayogyakarta
Hadiningrat langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
(Itulah yang oleh Sultan HB X dinyatakannya sebagai “ijab Khabul”).
Sebagai nasionalis tulen yang kenyang melihat leluhurnya diperdaya oleh Belanda maka beliau menolak bujukan Belanda, untuk menjadi Wali Nagari yang memiliki kekuasaan penuh atas Jawa & Madura. NKRI adalah merupakan amanat Leluhur yang harus dilaksanakannya tanpa reserve.
DIJ terbentuk berdasarkan UU No. 3/1950 tanggal 4 Maret 1950 dan kemudian diubah dengan UU No. 19/1950 tanggal 14 Agustus 1950. Pada masa Orde Baru peran Jogya diredusir apa lagi setelah Sri Sultan HB IX tidak lagi berkenan menjadi Wakil Presiden dengan UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979. Dan di masa reformasi ini semakin kabur karena merujuk pada UU No. 22/1999 yang telah diperbaharui dengan UU No. 32/2004, yang menyebabkan nasib “keistimewaan” DIJ terpinggirkan. Namun sayang setelah begitu lama payung hukum tersebut terbengkelai justru sebelum sidang kabinet Presiden Beye pada 25 November 2010, mengeluarkan statemen yang mengejutkan seiring adanya RUUK DIJ itu yang justru menimbulkan silang sengkaruk. Bandingkan dengan Aceh ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar