Kamis, 11 November 2010

PIDATO PRESIDEN OBAMA DI UI – LUAR BIASA

Catatn : Wiranto Parto sudirdjo

Melihat pidato Presiden Obama di UI dilayar TV, kelihatan disampaikan secara santai diselingi cerita nostalgia masa kecilnya di Indonesia, sudah pasti sangat menarik bagi bangsa Indonesia. Terlebih lagi setelah pidatonya menyinggung hal yang serius tentang pembangunan, demokrasi dan kepercayaan keagamaan, justru pidato politik Presiden Obama yang sebenarnya tidak disampaikan di Istana Negara tapi disampaikan langsung kepada audience-nya yaitu bangsa Indonesia di kampus UI.

Isinyapun, bagi saya menjadi sangat luar biasa mengingat ada beberapa kata kunci yang seharusnya di ucapkan oleh pemimpin bangsa Indonesia kepada bangsanya sendiri tapi ini malahan di ucapkan oleh Presiden USA kepada audience-nya bangsa Indonesia bahkan mungkin kepada audience-nya di seluruh dunia.

Ucapan dalam pidato Presiden Obama yang saya anggap luarbiasa yang saya tangkap adalah:

1. Such is Indonesia’s spirit. Such is the message of Indonesia’s inclusive philosophy, Pancasila.

Adalah sangat istimewa bahwa seorang Presiden Negara Asing mengenal filosofi dasar bangsa Indonesia, Pancasila. Presiden kita sendiri saja sudah jarang, bahkan mungkin tidak pernah mengucapkan kata Pancasila sebagai filosofi dasar bangsa Indonesia. Adalah suatu kemungkinan apabila dilaksanakan secara benar Pancasila akan bisa menjadi suatu alternatif konsep kenegaraan yang baru bagi dunia.

2. I learned to love about Indonesia -- that spirit of tolerance that is written into your Constitution; symbolized in mosques and churches and temples standing alongside each other; that spirit that’s embodied in your people -- that still lives on. Bhinneka Tunggal Ika -- unity in diversity. This is the foundation of Indonesia’s example to the world, and this is why Indonesia will play such an important part in the 21st century.

In the United States, our motto is E pluribus unum -- out of many, one. Bhinneka Tunggal Ika/ -- unity in diversity.

Motto “Bhineka Tunggal Ika” diucapkan dua kali dalam pidatonya adalah suatu bentuk kekaguman Presiden Obama berdasarkan pengalaman masa kecilnya di Indonesia atas semangat persatuan dalam keragaman dari bangsa Indonesia yang bisa dicontoh oleh dunia. Suatu peringatan buat kita semua bahwa hal-hal yang dikagumi oleh orang lain dalam tata masyarakat kita justru telah dan sedang dirusak oleh sebagian kecil bangsa kita yang atas nama agama mencoba memaksakan kehendaknya sendiri kepada orang lain.

Presiden Obama juga menyinggung konstitusi (Undang-Undang Dasar) kita yang mencantumkan toleransi keragaman beragama. Suatu pertanyaan bagi kita sendiri seberapa taat para pemimpin bangsa ini terhadap konstitusinya sendiri? Apa konstitusi hanya sekedar pajangan dan tidak perlu dilaksanakan, tanpa konsekwensi apa-apa kalau tidak melaksanakan? Apa yang telah diperbuat oleh para pemimpin ketika segolongan kecil masyarakat atas nama agama telah melanggar hukum, melakukan terror, dan pemaksaan kehendak pada golongan masyarakat lainya?

3. Development, after all, is not simply about growth rates and numbers on a balance sheet. It’s about whether a child can learn the skills they need to make it in a changing world. It’s about whether a good idea is allowed to grow into a business, and not suffocated by corruption. It’s about whether those forces that have transformed the Jakarta I once knew -- technology and trade and the flow of people and goods – can translate into a better life for all Indonesians, for all human beings, a life marked by dignity and opportunity.

Inti pembangunan bukan saja sekedar mengejar angka pertumbuhan ekonomi tapi yang lebih penting apakah hal ini bisa dirasakan secara luas oleh masyarakat sebagai peningkatan kwalitas kehidupan. Ini adalah kritik buat pembuat kebijakan ekonomi di Indonesia yang terlalu fokus pada makro ekonomi dan pertumbuhan ekonomi, tidak melihat kondisi masyarakat yang sebenarnya, harapan perbaikan kehidupan masyarakat luas, dan hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yang jadi superkaya dari hasil korupsi.

4. Of course, democracy is messy. Not everyone likes the results of every election. You go through your ups and downs. But the journey is worthwhile, and it goes beyond casting a ballot. It takes strong institutions to check the power -- the concentration of power. It takes open markets to allow individuals to thrive. It takes a free press and an independent justice system to root out abuses and excess, and to insist on accountability. It takes open society and active citizens to reject inequality and injustice.

These are the forces that will propel Indonesia forward. And it will require a refusal to tolerate the corruption that stands in the way of opportunity; a commitment to transparency that gives every Indonesian a stake in their government; and a belief that the freedom of Indonesians -- that Indonesians have fought for is what holds this great nation together.

Jalannya demokrasi bukan hanya sekedar soal pemilihan saja, memerlukan institusi yang kuat agar terjadi “check & balance” supaya tidak terjadi pemusatan kekuatan. Memerlukan pasar bebas agar setiap individu berusaha. Memerlukan press yang bebas, sistem peradilan yang independen agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, dan juga memerlukan tanggungjawab. Memerlukan masyarakat yang terbuka dan warganegara yang aktif untuk menentang ketidak setaraan dan ketidak adilan (ini adalah tipikal idealisme Partai Demokrat di Amerika Serikat, tapi juga merupakan kaidah-kaidah demokrasi yang umum berlaku).

Hal-hal tersebut yang akan menjadi pendorong kemajuan Indonesia dimasa yang akan datang, dan memerlukan penolakan terhadap korupsi yang menghalangi banyak kesempatan, komitmen terhadap transparansi (keterbukaan) yang membuat setiap individu bangsa Indonesia menaruh kepercayaan kepada pemerintah, dan percaya bahwa kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan akan menyatukan bangsa menjadi besar secara bersama-sama. (Kata-kata ini adalah sebaiknya yang dikatakan oleh para pemimpin Indonesia buat bangsa yang dipimpinnya, tapi kenapa yang menyampaikan Presiden Obama??).

Pidato Presiden Obama juga menjadi luar biasa karena disampaikan langsung kepada rakyat Indonesia yang diwakli oleh yang hadir di balairung UI, dan yang menonton di televisi, atau yang kemudian membaca pidatonya di internet atau surat-surat kabar. Cukup menusuk ke jantung pemasalahan bangsa Indonesia sendiri:

1. Apakah bangsa Indonesia masih setia pada filosofi dasarnya yang tertera di Preambul Konstitusinya (UUD '45) yaitu: Pancasila?

2. Apakah bangsa Indonesia masih setia pada motto “Bhineka Tunggal Ika”, persatuan dalam keragaman?

3. Apakah para pemimpin bangsa setia dan menjalankan dengan baik konstitusinya (UUD ‘45)? Sangat jelas Negara dengan sadar sedang tidak melaksanakan UUD ’45 pasal 33 dan pasal 34.

4. Apakah demokrasi di Indonesia sudah berjalan sesuai kaidah-kaidah yang berlaku umum di negara demokrasi? Aroma “money politic” dengan menggunakan dana korupsi masih membayangi dunia demokrasi kita.

5. Apakah pembangunan Indonesia tidak salah jalan yang fokus hanya pada pertumbuhan ekonomi tanpa melihat hasilnya yang lebih nyata bagi kesejahteraan masyarakat luas? Pembangunan yang saat ini telah menghasilakn 140 juta rakyat berada dibawah garis kemiskian, banyak orang super kaya dari hasil korupsi bahkan sebagian mereka lebih senang tinggal di Singapore walaupun usahanya ada di Indonesia.

6. Apa sikap kita tehadap korupsi dan transparansi saat ini? Negara secara keseluruhan telah menurun komitmennya untuk mengatasi korupsi dan terjadi pelemahan terhadap fungsi KPK.

7. Apa sikap kita terhadap banyak terjadinya kasus mafia hukum dan ketidak adilan di bidang hukum?

Dan ini adalah closing dari Pidato Presiden Obama di UI:

The stories of Indonesia and America should make us optimistic, because it tells us that history is on the side of human progress; that unity is more powerful than division; and that the people of this world can live together in peace. May our two nations, working together, with faith and determination, share these truths with all mankind.

Cerita tentang Indonesia dan Amerika harus membuat kita optimis sebab hal ini telah menceritakan bahwa sejarah adalah sisi dari kemajuan manusia, bahwa persatuan lebih kuat dari perpecahan. Dan semua orang didunia ini hidup bersama dalam damai. Semoga dua bangsa kita, bekerja bersama, dengan keyakinan dan kesungguhan, berbagi kebenaran ini ke seluruh umat manusia.

Suatu harapan besar bagi bangsa Indonesia dan bangsa Amerika. Apakah pidato Presiden Obama bisa membuat bangsa Amerika lebih mengerti bangsa Indonesia dan sebaliknya? Atau paling tidak bangsa Amerika bisa mengetahui letak geography negara Indonesia. Semoga saja bisa.


Depok, 10 November 2010.

Note: Text pidato Presiden Obama disalin dari sumber “THE WHITE HOUSE Office of the Press Secretary”

Selasa, 02 November 2010

MBAH MARIDJAN – PEMIMPIN HARUS BERTINDAK BENAR AGAR DUNIA TENTERAM

Judul ini saya kutip dari berita Republika Online perihal kenangan dari Bapak KH Hasyim Muzadi tentang meninggalnya mBah Maridjan – juru kunci gunung Merapi. Kutipan yang selengkapnya adalah: Saya menjadi ingat pesan Mbah Maridjan pada tahun 2006 lalu. Beliau berpesan dalam bahasa Jawa. “Panjenengan sak konco poro piageng, kedah ‘temen lan sak temene’ mugi ndonyane tenterem”. (“Bapak dan semua teman-temannya para pemimpin harus “benar yang sebenarnya” mudah-mudahan dunianya tenteram”).

Adalah suatu nasehat dari rakyat kecil buat para pemimpinnya. Mbah Maridjan walaupun hidup sebagai rakyat kecil - petani - sambil mengemban tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi, tetapi mempunyai banyak kearifan lokal yang dipegang teguh dari apa yang diketahui secara turun temurun yang mendarah daging yang sudah menjadi bagian dari budaya lokal di Jawa. Hal ini perlu dicermati kalau para pemimpin di Indonesia mau mendengar apa yang diutarakan oleh rakyat kecil.

“Temen lan sak temene” bisa diartikan sebagai “benar yang sebenarnya” adalah kata-kata besar tentang kebenaran yang sebenarnya. Secara filosofis memang bisa dikaji apakah ada kebenaran yang sebenarnya kecuali kebenaran dari sudut pandang ataupun kepentingan orang per orang. Tapi yang dimaksud oleh mBah Maridjan barangkali adalah suatu sikap benar yang tulus, bukan sikap benar yang dipalsukan (pura-pura), atau bukan sikap mau benarnya sendiri. Suatu sikap benar dari para pemimpin yang juga diamini oleh rakyat banyak sebagai kebenaran secara “common sense” yang membawa kebaikan ataupun ketenteraman (kesejahteraan) rakyatnya.

Apakah ada relevansinya antara para pemimpin yang “benar sebenarnya”dengan ketenteraman dunia? Tentunya dunia yang tenteram disini yang dimaksud sesuai dengan profesi mBah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi (yang selalu bergolak dan menimbulkan bencana alam) adalah dunia yang bebas dari bencana alam. Jadi apakah ada relevansinya antara para pemimpin yang “benar sebenanya” dengan bencana alam yang bertubi-tubi menimpa Indonesia???

Manusia dan alam sekitarnya bahkan dengan alam semesta punya hubungan timbal balik. Sudah pasti apapun sikap manusia ataupun tingkah laku manusia yang baik ataupun yang buruk akan berakibat pada alam begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu manusia memerlukan suatu hubungan yang serasi dengan alam lingkungan sekitarnya. Suatu tingkah laku yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan alam, pasti alam akan bereaksi sesuai dengan tingkah laku manusia. Tingkah laku yang buruk yang merusak keseimbangn alam, alam akan bereaksii merusak seimbang dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh tingkah laku manusia. Ini adalah hukum alam.

Kenapa justru para pemimpin yang disoroti tingkah lakunya agar “benar yang sebenarnya” bukan orang biasa? Karena pemimpin punya banyak pengikut. Tingkah laku para pemimpin punya daya “multiplier effect” atau efek membesar, tingkah laku yang buruk dari para pemimpin otomatis akan diikuti oleh para pengikutnya. Kalau tingkah laku para pemimpin itu buruk dan menimbulkan kerusakan yang besar pada alam (secara “multiplier effect”, tingkah laku buruk ini akan diikuti oleh berjuta-juta pengikutnya), oleh karena itu jangan disalahkan kalau alam juga berekasi secara kontan dengan merusak lingkungan manusia berupa bencana alam sesuai dengan kerusakan terhadap alam yang telah dilakukan oleh para pemimpin (sadar atau tidak sadar).

Lebih dari itu, seperti yang telah saya tulis sebagai komentar tulisan Bp. Sriwidada Putu Gedhe Wijaya di Facebook "AWAS MERAPI" DAN KIDUNG FUTURISTIK YANG NYALA WADI (25 OKTOBER 2010) sebagai berikut: Pemimpin bangsa Indonesia yang besar ini tidak cukup menguasai ilmu lahir saja. Sudah jelas pemimpin tertinggi bangsa saat ini tidak mengerti apa-apa tentang ilmu bathin yang harus dipunyai seorang pemimpin yang harus punya "prabawa" bukan hanya terhadap orang lain tapi juga terhadap alam. Kita harus punya pemimpin yang dekat dengan Allah SWT sehingga bisa menguasai alam secara spirituil untuk mencegah terjadinya bencana. Ini adalah tanggung jawab pemimpin seperti yang diajarkan oleh leluhur bangsa Indonesia dimasa lalu.

Hal ini bisa dieloborasi lebih lanjut bahwa apabila para pemimpin dalam hatinya tertanam kecintaan terhadap alam lingkungan sekitarnya dengan “benar yang sebenarnya”, tindakan dan arahan akan selalu dilakukan untuk pelestarian alam lingkungan sekitarnya dan meyakinkan agar dilaksanakan (dieksekusi) sesuai dengan apa yang ada dalam alam bathinnya. Tapi kalau alam bathinnya tidak sensitif terhadap gejala alam maupun lingkungan masyarakat sekitarnya, arahan akan keliru, taruhannya adalah negara dan kesengsaraan rakyatnya. Apalagi kalau memang tidak punya alam bathin, adanya adalah melihat kebutuhan lahir (phisik), hanya fokus pada kebutuhan dirinya sendiri, sudah barang tentu keseimbangan alam akan tergangggu dan alam bereaksi dengan gejala perusakan yang terus menerus.

Bencana alam akan terus berjalan dengan eskalasi yang makin membesar, kecuali ada kesadaran massal para pemimpin agar sadar sesuai pesan mBah Maridjan bahwa para pemimpin haruslah bersikap “temen lan sak temene” bertingkah laku “benar yang sebenarnya”. Mengasah kesadaran bathinnya untuk mengerti keserasian hidup dengan alam sekitarnya. Seperti teladan sikap mBah Maridjan yang kini sudah menyatu dengan Gunung Merapi.

Depok, 28 Oktober 2010.

Catatan: FB.Wiranto Partosudirdjo