Jumat, 30 Juli 2010

AKAN RUNTUHKAH NEGARA INDONESIA

Suatu anugerah Tuhan Seru Sekalian Alam nampaknya Nusantara ini dijadikan oleh – NYA sebagai miniaturnya dunia. Tidakkah kita ini merasa sangat bersyukur bahwa di Indonesia ini amat sangat kaya raya tidak saja SDAlam akan tetapi juga SDBudaya, SDSosial & SDSpiritual. Mengapa berbagai ras warna kulit itu ada semua di Nusantara ini ? baik dari yang berkulit hitam dan berambut ikal seperti saudara – saudara kita di Bumi Cendrawasih, sedangkan disana berbeda sekali daerahnya dengan Afrika. Mengapa ? ini yang tak pernah dipertanyakannya. Kemudian yang berkulit putih seperti kebanyakan mojang Priangan, Minahasa, Badui Dalam, Dayak dan lain sebagainya. Yang berkulit sawo matang justru sebagian besar masyarakatnya.

Bahkan nama ACEH sebagaimana telisik Ki Dieng Marwah (Marwoto Sudebyo) alm. seorang pejuang tulen dan spiritualis sejati sehingga selama Pak Harto memerintah beliau tak mau menerima pension dan juga bekerja!. Menurutnya ACEH dapat dianalogikan sebagai refleksi atas seluruh ras di dunia tersebut yakni A (Afrika – berkulit hitam ), China (berkulit kuning), E (Eropa yang berkulit putih) dan Hindis (berkulit sawo matang/coklat). Apakah itu suatu kebetulan ? Tentu tidak !

Namun mengapa kita tidak bersyukur dan bahkan keberagaman, Bhinneka tunggal ika atau e pluribus unum itu oleh sebagian orang diingkarinya ? Bahkan fatwa haram pun dilekatkannya pula oleh MUI ?.

Indonesia atau Nusantara sebagai bangsa timur tentu tak dapat ditata laksanakan dengan agama saja kecuali harus senantiasa berpijak pada “philoshopie, religie & watenschap” (filosofi, agama dan iptek) yang merupakan tiga kesatuan berpijak yang telah dipaterikan dalam jiwa & ruh PANCASILA itu sendiri!

Sedangkan bila bangsa ini mau dan mampu melaksanakan ajaran, pituduh dan warisan leluhur tersebut akan memudahkan mengantisipasi, menyiasati sesuatu yang kurang baik dan juga mampu memberdayakannya dengan maksimal. Memang dengan adanya kerusakan dan ketidak seimbangan alam oleh nafsu, ego & kesrakahan manusia telah menyebabkan anomali & sungsang bawana balik bumi yang kita pijak yakni Negara Proklamasi tercinta ini.

Secara moral dan spiritual bahwa senjakalaning Bumi Nusantara, Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan ”PANCASILA” ini telah terjadi dengan berakhirnya era rezim Bp. HM. Soeharto. Tuntutan reformasi pari purna telah dilaksanakan tanpa tujuan, sesat jalan dan kebablasan.
Dengan penumbangan atas diri Pak Harto dianggapnya telah selesai dan hanya beranggapan negara akan lebih baik namun justru yang terjadi adanya pengingkaran PANCASILA secara masif dengan lahirnya Otonomi Daerah & Otonomi Khusus dan UUD baru, UUD 2002 yang nota bene masih tetap menggunakan atribut ”1945”! UUD Amandemen atau perubahan atau penyempurnaan itu, manakala tidak mengubah struktur dan substansi secara besar – besaran terhadap UUD 1945 yang asli. Sedangkan UUD 1945 paska amandemen itu hanya memuat 25 ketentuan lama (12.5%) sementara kete
ntuan baru sebanyak 174 (87.5%). Sedangkan teramat jelas amanat founding fathers yang tersurat & tersirat terutama dalam Bab XVI pasal 37 hanya mengamanatkan adanya ”PERUBAHAN”.

Hebatnya lagi dalam UUD 2002 adanya eksistensi perwakilan yang telah dituangkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 (pra amandemen) menyatakan bahwa : "Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR.Tapi inilah pula yang telah dikhianatinya. Dengan menggantinya menjadi "Kedaulatan berada di tangan rakyat, yang dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar". Artinya pemilik sah kedaulatan, daulat rakyat itu telah dikalahkan oleh UUD, yang mengubah karakter dasar MPR. Sifat kekuasaannya menjadi restricted potent yang (oleh Panitya Ad Hoc) sengaja diformat agar terbatas & terbatasi oleh UUD itu sendiri. Sungguh hebat dan strategis, ada apanya dibalik ini semua ?

Ironisnya lagi oleh anggota MPR (1999 – 2004) pemegang kedulatan rakyat itu kini haknya telah di split (dibagi) yakni antara lain menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (MK), dimana ia berhak menguji dan memutuskan terhadap undang – undang apakah bertentangan dengan UUD 1945 amandemen atau tidak. Yang kedua adalah yang menyatakan dirinya ”Dewan Perwakilan Rakyat”, yang sejatinya mereka, para elite anggotanya itu hanyalah mewakili kepentingan partai politik semata sebagai legislator, bukan mewakili daulat rakyat/bangsa.

Analoginya bagaimana mungkin sang pemilik sah kedaulatan itu sama sekali tak lagi berdaulat atas kedaulatannya. Lembaganya (MPR) yang (dulu) memiliki wewenang merumuskan GBHN, kini hanya setara
sejajar dengan para penerima mandat dari sang pemiliknya sendiri ?. Ibaratnya sang pemilik sawah dan ladang kini ia dipasung tak boleh memerintah para penggarap sawah dan memilih benih padi pilihannya itu. Bahkan ia pun tak boleh memilih jenis pupuk karena harus tunduk pada sang penjual pupuk soal pupuk itu paslu atau asli sang pembeli tidak punya hak untuk komplain apa lagi menuntut ?.

Para proklamatoris amat menyesalkan atas sebuah kejumawaan sehingga mereka menilainya, sungguh merupakan adanya alur pikir yang tidak wajar identik dengan hipotesis doktrinnya Romen George Orwell (1984), dibangunnya polisi – polisi pikiran. Bagaimana Orde Baru menjejalkan pengertian bahwa ”Bung Karno adalah merupakan tokoh coup d’etaat atas dirinya sendiri dan Pak Harto adalah penyelamat NKRI dan sebagai Bapak Pembangunan”. Disamping doktrin maka wajib tayang dan wajib lihat bagi anak-anak sd - slta atas Film 'PENGHIANATAN G30SPKI"! Ironisnya lagi di era reformasi justru mengulanginya kesalahan tersebut dengan lebih masif, bahwa demokrasi dimana pemerintahan di tangan rakyat diubahnya ”secara substansial bahwa pemerintahan itu di tangan partai politik” yang dilegitimasi melalui UUD permak – an yang tetap berlabelkan ”1945”. Apakah ini ekses dari cara berfikir ”pro toto totem pro party” atau memang ”No sabe queno sabe – queno sabe”, tidak tahu terhadap sesuatu permasalahan tetapi tidak sadar bahwa sebetulnya mereka tidak tahu.

Namun sepertinya itu mustahil karena mereka adalah para pakar – para ahli di bidangnya. Yang paling berbahaya adalah manakala ada grand – design yang memang ada suatu kesengajaan atas adanya invisible hands – nafas nekolim yang ingin menghancurkan NKRI ini setelah Bung Karno sang pelaku dan propagandis anti nekolim dengan gemilang dapat dihancurkannya setelah bertahun – tahun gagal dienyahkan dengan jalan pembunuhan secara langsung baik dengan pistul, granat maupun senjata berat lainnya yang terjadi belasan kali itu dilakukannya. Dan ternyata begitu mudah untuk menjungkalkan singgasana Bung Karno hanya dengan menjauhkannya dari jiwanya yakni rakyat yang beliau cintai dengan prolog G30S PKI yang sangat kontroversial itu, dimana reputasi Angkatan Darat dipertaruhkannya namun anehnya tiada keinginan untuk meluruskan sejarah yang ada.

Nampaknya kita dapat mengamini pernyataan KASAD Jenderal Ryamizad Ryacudu yang menyatakan bahwa : ”........, perang modern yang kini tengah dilakukan oleh negara – negara adidaya tidak disadari oleh bangsa lain seperti Indonesia. Perang seperti itu dapat menghancurkan sendi – sendi suatu negara, seperti yang terjadi di Rusia & Yogoslavia. Bangsa Indonesia yang sangat besar, memiliki sejumlah kerawanan yang dapat disusupi konsep perang modern seperti itu. Karena itu, sudah saatnya bangsa Indonesia sadar akan bahaya perang modern itu”. (Suara Pembaharuan, Selasa , 21 Desember 2004, hal.3).

Benarkah bahwa demi jargon demokrasi (liberalistik) kita relakan ”Sila IV” kita campakkan ?. Sistem perwakilan tak lagi dikenal karena bangsa yang hetorogen ini diklaim cukup terwakili hanya oleh elit parpol saja. Juga bagaimana (suara) TNI harus hengkang dari DPR/MPR, mereka nampaknya lupa bahwa cikal bakal TNI itu dibentuk oleh rakyat dan untuk rakyat, tanpa kehadiran dan peran sertanya tentunya NKRI ini sudah hilang tertelan oleh imperialis Belanda dan atau Inggris. Penghujatan terhadap lembagadipanya negara adalah suatu kebodohan! Seharusnya penyelewengan yang ada itu seyogyanya diluruskan bukan hak – haknya yang harus dibasminya. Bukankah mereka secara pribadi juga merupakan warga negara yang memiliki hak yang sama ?. Maka kini pun muncul kontroversi itu!

Bagaimana Presiden SBY telah mencanangkan (duluan) progran 100 harinya sementara Program Kerja Jangka Menegah masih belum ditelorkannya ?. Inilah suatu ketimpangan yang absurb bila dibandingkan dengan sistem lama dengan GBHN yang telah digodog oleh pemilik mandat, pemilik sah kedaulatan yang bernaung di bawah Lembaga Tertinggi Negara yakni MPR. Akibatnya suka – suka & kontrol bukan lagi dilakukan oleh MPR akan tetapi oleh para demontran jalanan seperti yang terjadi dalam hiruk pikuk di seluruh pelosok Nusantara yang dipertontonkan bertepatan dengan program 100 harinya Pemerintahan Rezim Presiden Bp. SBY dengan Kabinet Indonesia Bersatu julid II nya, 28 Januari 2010 lalu.

Apapun alibi dan pembenaran Bapak Yudhoyono dan para jubirnya yang begitu bangga dengan masuknya menjadi anggota G20 dan rangking 3 dunia dalam menyiasati terjadinya krisis global. Namun betapa sulit untuk mengelak mengapa betapa banyak orang yang bunuh diri karena stres terbelit ekonomi, bagaimana rakyat yang dulu dapat membeli gula pasir kini tak lagi mampu karena harganya telah mencapai > Rp 12.000/kg di Jakarta. Swasembada gula yang pernah ditargetkan 2006 molor hingga 2014 sehingga DPR pun konon ingin membentuk Panitya Kerja (Panja). Belum lagi kebutuhan 9 bahan pokok lainnya kini bagaikan barang mewah di mata para kawula alit yang papa seiring naiknya TDL per 1 Juli ini. Bukankah berbagai kerusakan itu nyata terjadi yang terefleksikan dengan berbagai kasus demi kasus seperti :

• Kerusakan di bidang penegakan hukum justru dikuasai oleh mafia peradilan, kasus Anggodo
hanyalah riak dari gelombang mafioso hukum yang mengantarkan kelahiran ”Cicak versus Buaya &
Godzella”, yang telah memperdaya institusi penegak hukum yakni Kejaksaan Agung dan Kepolisian;

• Kerusakan di bidang keadilan dengan mencuatnya penjara Bintang V di Rutan Wanita Pondokbambu bagi Neng Ayin dan ratu Narkoba dan maraknya mafia pajak, mafia perizinan, mafia penerimaan catam, caba dan ilegal logging, ilegal fishinh, ilegal maining.

• Kerusakan/ kehancuran di bidang perekonomian yang terwakili oleh kasus ketidak siapan memasuki era globalisasi dimana antara lain hasil produk pertanian nasional seperti jagung, kedelai, padi , ikan, gula, cabe, bawang dll. harganya justru lebih mahal ketimbang barang impor apa lagi kini dilanjutkan dengan negeri Tirai Bambu, Cina dalam bentuk ACFTA (ASEAN – China Free Trade Agreement).Barang – barang buatan China akan membludak,
karena PPn Impor ”NOL %” maka
praktis industri dalam negeri sangat terancam dan terpukul ditambah beban TDL. Akibatnya akan banyak pabrik yang bangkrut, ekses lanjutannya banyak buruh yang di PHK, akhirnya penghasilannya nil sehingga tak memiliki daya beli sama sekali akhirnya kerawanan sosial secara nasional takterelakkannya. Defisit Neraca Perdagangan dengan Cina membengkak berkali - kali.

• Kemudian kehancuran di bidang moneter & fiskal serta keuangan, terefleksikan adanya penafian undang – undang dengan pembengkakan kucuran dana talangan (bailout) yang disetujui DPR guna penyelamatan Bank Century 630 milyar menggelembung 1000 % lebih, menjadi 6, 7 tiliun yang dilakukan oleh BI dan Komite Keselamatan Stabilitas Keuangan (KKSK) yang diketuai Ibu Sri Mulyani Indrawati yang juga menjabat Menkeu sehingga mendorong dibentuknya Panitya Hak Angket DPR Bank Century atau Century Gate. Disamping itu ada upaya pengaburan antara ”Uang Negara” dan ”bukan uang negara”, walaupun amat jelas bahwa pengelola dan uangnya berasal oleh dan dari negara; Dan semakin banyaknya hutang Pemerintah.

• Di bidang pemberantasan korupsi justru melahirkan adanya ”Kriminalisasi KPK”, Sang mantan Ketua yang dijadikan pesakitan Antasari Ahzar yang difonis hukuman 18 tahun penjara. Dan kemenangan Anggodo dalam praperadilan atas dikeluarkannya SP3. Akibatnya Wakil Ketua KPK Bibid Samad Riyanto dan Candra M. Hamzah kembali terancam diseret ke Pengadilan;

Bagaimana rakyat yang konon sebagai pemilik sah kedaulatan, lembaganya telah dibonsaikan ?. Respublika, yakni pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat tak lagi ada. Bangsa (pemilik sah kedaulatan) ini tak lagi berhak atau memiliki kewenangan guna menyuruh Presiden (Lembaga Eksekutip) untuk melaksanakan amanatnya yakni GBHN ?. Sehingga blue print, master plan terhadap pelaksanaan amanat penderitaan rakyat itu tak lagi dikenal. Presiden atau eksekutip sebagai mandataris – kulinya rakyat tak ada lagi karena mereka memiliki program sendiri yang identik bukan programnya rakyat kecuali hanya programnya elit partai politik semata. Nama rakyat hingga kini hanyalah semata – mata dicatutnya. Adanya dana aspirasi yang digagas Golkar sungguh absurb.

DPA sebagai pengejawantahan Wali Sanghanya NKRI dibubarkannya tapi justru menjelma menjadi Dewan Pertimbangan Presiden dan muncul pula Unit Kerja Presiden Pengawasan & Pengendalian Pembangunan dan unit – unit lainnya,serta berbagai puluhan lembaga pemerintah yang saling tumpang tindih..

Akibatnya nusa bangsa ini sungsang bawana balik dan bencana alam senantiasa silih berganti dengan instensitas yang makin menjadi – jadi yang menyebabkan anak – anak bangsa ini menderita, dan entah hingga kapan semua ini akan berakhir ?. Quovadis bangsaku - akan dibawa kemana ?. Manakala kita menggunakan rasa ing pangrasa atau laku hidup Berpancasila dan menggunakan Sila II sebagai ”measurement tool”, bahwa bangsa & negara ini setidaknya telah melakukan tiga pengkhianatan yakni antara lain :

1. Mengkhianati anugerah Tuhan Seru Sekalian Alam yang telah memberkati dan merahmati berdirinya Negara Proklamasi Kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 (9 Pasa 1876 SJ/8 Ramadhan 14 1364 H).

2. Mengkhianati wasiat, warisan, amanat (rasa tanggung jawab akan akibat dari segala sesuatu yang diserahkan kepadanya, lawannya khianat yakni penyelewengan) dan amanah (sesuatu yang dipercayakan) para founding fathers, para pendiri bangsa yang telah memberikan dasar idiologis, spiritual dan religius dengan PANCASILA dan juklaknya, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional terutama Bab XVI pasal 37 dimana MPR hanya diberi mandat mengadakan perubahan UUD 1945 karena sangat disadarinya bahwa UUD 1945 sifatnya hanyalah sementara karena dibuat hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan dalam situasi menjelang & berakhirnya Perang Dunia II.

3. Mengkhianati wasiat, warisan, amanat dan amanah Sang Proklamator, Bapak Bangsa, Presiden R.I. I Dr. Ir. Soekarno, yang menyatakan ”Kutitipkan bangsa & negara ini kepadamu”, Trisakti :
Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Dan Jasmerah, ”Jangan sekali – kali meninggalkan sejarah”!

Untuk itu peran seluruh anak bangsa seyogyanya dalam sutuasi yang sungsang bawana balik, penuh anomali ini, mau dan mampu berkorban dan berjuang lebih dari segala – galanya ketimbang sumbangsihnya sebelum ini karena keadaan berbangsa dan bernegara telah berproses menuju kesenjakalaan Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena Pancasila itu kini telah dinafikannya dan dibiarkan saja tanpa ada kemauan dari penyelenggara negara guna merevitalisasikannya kembali sesuai perkembangan jaman. Maka bila tak ada kesadaran, conciousness atas situasi & kondisi ini, tak lama lagi bangsa dan negara kita ini akan segera mengikuti jejak & nasib kerajaan nasional Sriwijaya, Singhasari dan Majapahit yang tinggal sejarahnya belaka. Relakah ?.

Wacana yang disampaikan Pemerintah dan MPR adanya 4 pilar berbangsa & bernegara yang tidak dapat diganggu gugat yakni : (1).NPKRI (2). Pancasila (3). UUD 1945 dan (4). Bhinneka tunggal ika. Perlu bukti bukan slogan dan bagaimana caranya ? karena :

• NPKRI sudah diredusir oleh Otsus dan Otda sehingga Negara hanya memiliki kedaulatan atas 5 bidang saja yakni : Politik luar negeri; pertahanan dan keamanan; agama; moneter dan fiskal serta yustisi. Namun toh kedaulatan negara nyatanya masih dapat dimandulkan seperti kasus ”DCA” dengan Singapura terlepas banyak kekurangannya toh dengan mudahnya dianulir oleh DPRD maupun gubernur yang wilayahnya dijadikan area Bravo. ? Sehingga perjanjian bilateral tentang ekstradisi menjadi bubar berantakan, sehingga Singapura tetap menjadi persembunyian yang aman bagi para bandit negara.

• Pancasila ? Pancasila yang mana ? karena Sila IV tidak lagi dikenal adanya ”perwakilan”? Unsur bangsa tidak lagi ada perwakilannya kecuali hanya oleh elit parpol ? yang duduk di DPR & DPD yang begitu bangga menyebutnya para senator itu ?. Dan apa buktinya karena ada organisasi agama yang telah menistakan Pancasila dan Garuda Pancasila dianggapnya berhala dan haram juga oleh ulama dan atau tokoh masyarakat, Pemerintah diam saja ?

• UUD 1945? UUD yang mana ?karena UUD permakan adalah sangat liberalistik dan menghilangkan unsur kekeluargaan dan atau gotong royong serta sosialisme – nasionalisme – religius ?

• Bhinneka tunggal ika ! yang mana ? karena ratusan gereja ditutup paksa. Ijin pendiriannya pun luar biasa sulitnya dan bangunan serta masjid tempat beribadah JAI justru dihancurkan oleh yang mengaku Islam dan juga oleh aparat pemerintah sendiri ?. Dan nama junjungan umat Buddha, dijadikan nama bar dan asesoroies, Pemerintah membiarkannya saja ?. Tidaklah sesama umat –NYA, kita begitu jumawa mengambil alih domain TUHAN YANG MAHA ESA dengan menyatakan orang lain yang berbeda dengan kita lantas dengan enaknya kita nyatakan kafir – haram – halal darahnya dll ?. Apakah kita yang menghakimi itu (pasti) lebih baik perilaku dan watak karakternya ?.
Mengapa sudah puluhan tahun pemerintah dan masyarakat tidak pernah terusik oleh keberadaan JAI yang juga telah berjasa ikut mencerdaskan bangsa dengan ratusan lembaga pendidikan dan tak ada gerakan makar atau subversib dari mereka ? Bahkan mengahmadiyahkan anak – didik pun tak ada ?. lalu dharma bakti apa yang telah mereka sumbangkan untuk negeri ini ?.

Sebagai bangsa Nusantara maka tak dapat lepas dari pemahaman holistik ini sebagimana ”jiwa Tantularisme : Tan hanna dharma mangrwa, tiada kebenaran yang mendua”. Oleh sebab itu Kebijaksanaan filsafati & pengetahuan ilmiah semestinya selalu berjalan bergandengan. Sepanjang mengenai tujuannya, tidak ada perbedaan antaraa ilmu dengan seni sarvashastra prayojanam tatwa darsanam. Tujuan utama dari setiap ilmu tak lebih dari pada pandangan mendalam terhadap kenyataan, pemahaman tentang hakekat dunia dan alam semesta. Itulah tujuan akhir dari semua shastra”.(Radhakrishnan, ”True Knowledge” 1978 :23 & ”Faith Renewed”, 1979 : 21-22).

Dalam ilmu filsafat membedakan tetang etika yang menjadi ukuran atas baik dan buruk, estetika tentang indah atau jelek sebaliknya logika membawa pemahaman tentang benar dan salah. Sedangkan hidup sendiri merupakan keseimbangan dari ke tiganya.
Oleh sebab itu sesuatu yang benar belum tentu indah demikian pula yang indah belum tentu baik sebaliknya yang baik belum tentu benar, dan seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar