Kamis, 29 Juli 2010

DESTROYING NATION

Meminjam istilah Jacob Sumardjo, ia menyatakan bahwa : “Indonesia (ini) sedang dilanda neurotic alias gangguan jiwa karena tidak (lagi) mampu membedakan mana realitas factual mana realitas rasional …….”. Teori Romen George Orwell (1984) telah menjadi kenyataan di Indonesia yakni dibangunnya polisi – polisi pikiran. (Kompas, Saptu 5/7/8 hal . 6).

Maka tidaklah aneh bila Soebadio Sastrosatomo dalam bukunya “Era baru pemimpin baru – Badio menolak rekayasa rezim Orde Baru”, menyatakan bahwa : “Sekarang ini seolah – olah sejarah Indonesia dimulai dari lahirnya Orde Baru”.

Sungguh ironis, sejarah telah begitu bengkoknya. Bangsa & Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia setelah 12 tahun reformasi atau satu abad dua tahun kebangkitan bangsa atau 65 tahun kemerdekaan akibat “nation & character building dinafikan dan diganti dengan “economical building” saja, telah menjadikan bangsa ini kehilangan jati diri bangsa sehingga tergelincir menjadi bangsa yang :

• Mengusung anarkisme dijadikan panglima dan penyelesaian terhadap sesuatu masalah.

• Suka mengkambing hitamkan orang lain.

• KKN telah menjadi budaya bangsa.

• Penuh dengan kemunafikan.

• Suka jalan pintas dan malas, berhutang serta meminta – minta dianggap suatu norma yang umum , bangsa ini cenderung memilih yang serba instan.

• Individualistik, kekeluargaan dan atau kegotong royongan telah ditinggalkannya.

• Menurunnya harkat dan martabat atas bangsanya sendiri.

• Narsisistas atas masa lalu dan lebih suka menjadi penonton di tengah pergolakan era globalisasi.

• Tidak mau menghargai para leluhurnya – pejuang – pahlawan – syuhada dan founding fathers serta Proklamator maupun warisan, wasiat, amanat dan amanahnya.

• Mudah sekali terpedaya oleh budaya impor atau manca Negara yang belum tentu sesuai dengan nilai dan jiwa budaya asli Nusantara.

• Tidak konsiten & konsekwen melaksanakan keputusan para founding fathers yang telah diwariskan yakni adanya Negara Prokamasi dengan dasar Negara, pandangan hidup bangsa, filosofi bangsa, sumber tertib hukum, nurani bangsa, ajaran multy khomplek dan alat perekat bangsa “PANCASILA”, yang menjadi dasar idiologis serta UUD 1945 pra amandemen sebagai dasar konstitusi. Semua telah kita khianati sesuka hati kita sendiri.

• Terjadinya pergeseran tata nilai di masyarakat bahwa orang yang berhasil itu kini adalah orang yang hartawan dan perengkuh kekuasaaan soal dari mana harta yang didapatkannya tidaklah penting. Akibat dari semua itu KKN begitu sulit untuk dibrantas dan bila dulu suatu pertunjukan itu mengandung pesan moral sarat dengan nilai – nilai adi luhung kini terjerumus dalam pragmatisme dengan mengedepankan segi humor semata.

Bila sesuatu acara itu menimbulan ger – geran itu yang penting maka setelah pertunjukan wayang (campur dangdutan) kemudian diikuti dengan kethoprak (humor) maka pelecehan lembaga kepresidenan dengan alasan jargon parodia dan demokratisai di bidang pekerja seni dianggap sah – sah saja dengan Republik Mimpi, Negeri BBM dan lain sebaginya, kemudian kini irama lagu Kebangsaan Indonesia Raya pun dengan enteng digubahnya bahkan tidak dilantunkan sekalipun dalam hajat sidang paripurna DPR.Lembaga Keprisidenan sebagai bahan ketertawaan. ironis!

• Demokrasi terjerembab pada demokrasi procedural. Demokrasi di atas kertas deficit penghargan
atas perbedaan dan toleransi.

• Parpolitarisa menjelma menjadi siluman kartel politik dan oligarki kekuasaan. Kekuasaan seolah
hanya milik keluarga yang dapat diwariskan dengan akal –akalan dalam pildasung baik kepada
isterinya dan atau anaknya. Rakyat nampaknya tidaklah berhak mendapat seorang pimpinan yang
capabel dan handal quovadis//


Carut marut berbangsa & bernegara ini atau berbagai anomali yang muncul, seharusnya tidak perlu terjadi bila kita menghayati & memiliki satu bangsa (satu jiwa – satu karakter) untuk melaksanakan amanat penderitaan rakyat yang telah disampaikan oleh para pendahulu kita.

Makna pernyataan tersebut, adalah bahwa bangsa ini merupakan suatu keniscayaan yang dibangun di atas sendi “bhinneka tunggal ika”, unitas in plurifate, kepelangian, keberagaman, keaneka ragaman, atau e pharibus unum dari ratusan suku bangsa yang praktis memiliki multi kulturalisme, suatu keberagaman. Bukan sebagai bangsa satu dimensi!

Namun mengapa justru ditentang oleh anak – anak bangsanya sendiri khususnya kelompok garis keras yang selalu berusaha ingin menyeragamkan adanya keberagaman adi kodratinnya itu serta merasa paling benar adalah merupakan ancaman pluraslisme itu sendiri. UU Pornografi No. 34/2008 yang disahkan pada 30 Oktober 2008 adalah salah satu contoh belum lagi pengharaman tentang pluralisme oleh MUI. Kita lupa bahwa : ”Morality can not be legislated but behavior can be regulated”.

Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia telah diberkati dan di rahmati – NYA namun kita ingkarinya sendiri sehingga bisa jadi kita telah melakukan seperti yang diperingatkan dalam Injil, Ulangan 28 ayat 46 : "Bencana – bencana itu merupakan bukti dari hukuman TUHAN atas kamu dan keturunanmu untuk selama – lamanya.

Ayat 47 : "Kamu sudah diberkati TUHAN Allahmu dalam segala hal, tetapi tidak mau mengabdi kepada – NYA dengan hati yang ihklas dan gembira". Ayat 48 : "Karena itu kamu harus mengabdi kepada musuh – musuh yang dikirim TUHAN untuk melawan kamu. Kamu akan kelaparan, kehausan dan telanjang serta berkekurangan dalam segala hal. TUHAN akan menindas kamu dengan kejam sanpai kamu binasa".

Bukankah ini telah terjadi ? dimana pembentukan UU dibiayai oleh USAID seperti UU Migas, Kelistrikan dan Geo termal. Seperti UUNo. 22/2001 dalam kurun 2001 – 2004 telah dikucurkan dana US$ 21,1 juta termasuk untuk perbantuan tehnis & pelatihan dalam mengimplementasikan UU tsb.(Kompas 12/02/2009).

Demikian pula untuk Pemilu! Quovadis! Bangsa yang tidak berdaulat!

Belum lagi sistem liberalisme yang menyolok dengan adanya tanah yang boleh dikuasai oleh investor asing selama 95 tahun dan saham asing hingga 99% sebagaimana UU Investasi dan sewa tanah hutan lindung maupun produksi hanya dengan sewa Rp 120 – Rp 300/M2 sebagaimana PP No. 2/2008. Lalu alasan apa yang dapat diterima oleh rakyat ?.

Atas berbagai fakta di atas maka pada galibnya "Negara Proklamasi ini esensinya telah tiada " karena satu sisi telah dijadikan "Amerikanisasi" sedangkan di sisi lain pun telah pula dijadikan "Arabisasi". Sebab apa ? karena makin menipisnya "rasa harkat nasional", makin menipisnya rasa "national dignity", makin menipisnya rasa bangga & rasa hormat terhadap kemampuan & kepribadian bangsa sendiri atau rakyatnya sendiri, sebagaimana telah diingatkan oleh Bung Karno itu.

Tak ketinggalan jauh sebelumnya, Ibnu Khaldhun (1332 – 1406 M) yang menyatakan bahwa : "Bangsa Pecundang gemar meniru bangsa yang lebih kuat, baik dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama, gaya hidup serta adat istiadat" nampaknya berlaku bagi bangsa kita ini.

Bahkan lebih jauh Bung Karno sendiri, Sang Proklamator, Founding father, Presiden I, mengingatkan terjadinya " A nation in collapses" (satu bangsa yang sedang ambruk), dimana krisis demi krisis sehingga mungkin nanti menjadilah krisis itu, satu krisis total, krisis mental", paparnya.

Kaum reformis telah gagal, seharusnya hanya satu tekadnya yakni return to basic, return to Pancasila & UUD 1945 dan seharusnya menjauhi kerja sama dengan kelompok siapa saja yang katanya mendukung gerakan reformasi akan tetapi tidak berlandaskan Pancasila & UUD 1945 & keutuhan NKRI. Mereka mestinya mau dan mampu mengawal agar dalam barisan reformis tidak tersusupi oleh unsur – unsur anti Republik, anti Pancasila serta UUD 1945. Tapi nasi sudah menjadi bubur, lets by gone be by gone.

Andai saja kita merasa sebagai anak bangsa Indonesia yang senasib sepenanggungan dan berkenan tidak melupakan sejarah, Bung Karno mengingatkan : “Alangkah berbahayanya situasi pada waktu itu. Tetapi Allah SWT memberi ilham. Memberi taufik hidayat akan persatuan kita yang kemudian menjelma menjadi satu dasar yang bisa disetujui oleh semuanya, yaitu dasar PANCASILA, yang sampai di dalam tiga UUD RI tidak akan pernah terangkat. UUD RI Yogyakarta, UUD RIS maupun UUDS RI sekarang ini,

PANCASILA tetap terpegang teguh. Ini karena PANCASILA sudah menjadi suatu kompromi yang mampu mempersatukan golongan – golongan ini. Maka, oleh karena itu, Saudara – Saudara, insyaf dan sadarlah akan keadaan yang berbahaya di dalam bulan Juli 1945. Janganlah kita mengalami lagi keadaan yang demikian itu.! Jangan pecah persatuan kita dan jikalau aku katakan “pecah persatuan kita” itu berarti pecah, gugur, meledak, musnah Negara kita yang telah kita perjuangkan bersama ini dengan segenap penderitaan dan pengorbanan yang hebat – hebat. Kembalilah kepada persatuan.

Aku sama sekali – sebagai tadi kukatakan berulang – ulang – tidak pernah melarang seseorang untuk mempropagandakan idiologiya. Tetapi ingat, accentenleggen kepada persatuan. Jangan diruncing – runcingkan persatuan mutlak , persatuan mutlak, persatuan mutlak. Aku ingat kepada kaum Kristen, Kaum Kristen bukan satu, bukan dua, bukan tiga, bukan seratus, bukan dua ratus, ribuan kaum Kristen mati gugur di dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan ini. Apakah yang menjadi harapan kaum Kristen itu, Saudara – saudara, yang kita pantas juga menghargai pengorbanan mereka ? Harapan mereka ialah bahwa mereka bisa bersama – sama dengan kita semuanya menjadi anggota kesatuan bangsa Indonesia yang merdeka. Jangan pakai istilah minoriteit. Jangan !” ( Kuliah Umum di UI pada 7 Mei 1953 “Negara Nasional dan cita – cita Islam”).

oleh :
Sri Widada Putu Gede

Tidak ada komentar:

Posting Komentar