Selasa, 31 Agustus 2010

Konfrontasi - Agresor.


KEDAULATAN WILAYAH TERITORRIAL (EMBRIO) NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pada Sidang BPUKPI tanggal 10 Juli 1945 dalam rapat telah memutuskan bahwa bentuk Negara adalah Republik (55) yang memilih kerajaan (6) dan lain – lain (1) serta blanko (1).

TERITORIIALNYA ADALAH :

BEKAS WILAYAH JAJAHAN HINDIA BELANDA PLUS Malaya, Borneo Utara, Timor – Timur, dan Papua seluruhnya dengan pulau – pulau di sekelilingnya”.

Keputusan tersebut dilaporkan kepada Gun Seiken Kaka (Kepala Peme- rintahan Militer Jepang) pada 18 Juli 1945 dengan No. surat D.K/1/17.9.

Perlu diketahui bahwa wilayah territorial bagi Indonesia Merdeka adalah bekas wilayah kedaulatan kerajaan Majapahit bukan bekas wilayah pendudukan Pemerintahan Belanda. Ini yang sering tidak dipahami oleh kita semua. Hal ini dikuatkan lagi atas pertanyaan Laksamana A. L Jepang/Panglima Perang Wilayah Selatan yakni Terauchi,di Dalat dekat Saigon, Vietnam pada 11 Agustus 1945 kepada Bung Karno – Hatta bersama Dr. KRT. Rajiman Widiodiningrat. “Apakah kepulauan Salomon tidak termasuk yang disebut Indonesia itu ? “. Dijawab tegas oleh Bung Karno, “TIDAK”!.

PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal – hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain – lain diselenggarakan dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat – singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus ’05 (note : 2605 Kalender Jepang atau 1945 Masehi)

Atas nama Bangsa Indonesia

SOEKARNO – HATTA

PERUBAHAN WILAYAH TERITORRIAL NEGERA PROKLAMASI R. I

Namun beberapa tahun paska PROKLAMASI wilayah NPKRI tsb. Banyak yg telah mendapatkan kemerdekakannya.

  • Seperti Malaysia, Singapura, Brunai, dan Patani yang kini merupakanwilayah Thailand, semua telah menjadi negara yang berdaulat, di kawasan Asia Tenggara ini demikian pula Philipina.
  • Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI tersebut hal. xxxix – xl tertulis : “ …… Dalam sidang pertama tanggal 18 Agustus 1945 ini Ketua PPKI Ir. Soekarno menyampaikan kepada sidang bahwa ia telah memberitahukan kepada Marsekal Terauchi bahwa wilayah Negara Indonesia adalah hanya bekas Hindia Belanda”.

Sidang pembaca hendaknya kritis atas ke dua pernyataan tersebut mana yang benar ? Dalam jenjang kepangkatan perwira tinggi di jajaran Angkatan Laut umumnya menggunakan sebutan Laksamana bukan Marsekal, karena ini digunakan khusus oleh Angkatan Udara. Bila apa yang tertulis, tersurat itu benar adanya, lalu mengapa Bung Karno mati – matian melakukan konfrontasi dengan Malaysia ? Harap dipahami bahwa Bung Karno demi melaksanakan mandat rakyat Indonesia tahun 1945 itu, menentang pembentukan Negara Malaysia dari kaum kolonialis asing (Inggris). Sebab yang hendak didirikan negeri Malaysia itu berada dalam wilayah Nusantara, wilayah Indonesia yang telah diproklamirkan oleh Dwitunggal Soekarno – Hatta tanggal 17 Agustus 1945.

Oleh sebab itu sebagai solusinya Indonesia mendukung terbentuknya “MAPHILINDO” (singkatan dari Malaya, Philipina dan Indonesia) dan wilayah itulah yang disebut INDONESIA dalam naskah Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Gagagasan tersebut bukan merupakan kesatuan pemerintahan melainkan masing – masing memiliki kedaulatannya hanya secara periodik akan diadakan pertemuan secara rutin untuk pemberdayaan Maphilindo.

Dan Bung Karno menyerahkan sepenuhnya tentang Malaysia kepada rakyat di Kalimantan Utara itu sendiri guna melaksanakan adanya referendum.

Bung Karno menyatakan : “Bahwa perjuangan kita menentang Malaysia adalah amanat dari pada Deklarasi Kemerdekaan kita itu, oleh karena Malaysia adalah satu British neocolonialist project”.

Nah pemutar - balikan fakta sejarah ini, nampaknya terlihat pula dalam buku "Soekarno Penyambung Lidah Rakyat", terjemahan dari buku Cindy Adams " Soekarno Authobiografy as told to Cindy Adams", ada sisipan pada halaman 341 dimana naskah aslinya tidak ada, yang bunyinya "Soekarno tidak memerlukan Hatta dan Syahrir bahkan peranan Hatta dalam sejarah tidak ada". Wajar saja kalimat ini yang disangkanya keluar dari mulud Bung Karno, sehingga membuat berang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Syamsul Maariif. Kompas, 6 Juni 2007, hal. 6. Lalu siapakah yang mereka yasa itu ? tentu sidang pembaca dapat menjawabnya dengan JASMERAH!

BAGIAN I

A.JUTAAN ORANG GUGUR SEBAGAI KUSUMA BANGSA & NEGARA

Adanya facum of power yang telah dimanfaatkan oleh para pendiri bangsa untuk memproklamirkan kemerdekaan bangsa adalah suatu berkah dan bukti bahwa kemerdekaan itu bukanlah pemberian hadiuah dari Pemerintahan Jepang! Nah akibat pilihan politis – moral & spiritual tersebut tantangan bangsa & Negara kala itu begitu hebat. Namun dengan semangat dan jiwa “AKU CINTA JIWAKU NAMUN AKU LEBIH CINTA NEGERIKU” telah membangkitkan semangat juang, semangat patriotic, heroisme, suka berkorban demi negeri yang dicintainya itu. Sehingga tekad “SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA”, menumbuhkan slogan “RAWE2 RANTAS MALANG2 PUTUNG – MATI SATU TUMBUH SERIBU – HOLOBIS KUNTUL BARIS DSBYA” guna mempertahankan Negara Proklamasi tsb.

Rakyat sangat merindukan pemimpinnya sehingga para pemuda mengoganisir terjadinya rapat raksasa pada 19 September 1945 guna mendapatkan amanat dari Presidennya secara langsung. Sejak pagi buta masyarakat dari berbagai pelosok Jawa Barat dan Jakarta, berbondong – bondong memenuhi Lapangan Ikada (Ikatan Athletik Djakarta, kini Lapangan Monas) hingga menjelang sore hari, terik panas dan bayonet serdadu Jepang serta “larangan rapat dari Jenderal Nagano” tak mampu menyurutkan mereka, dengan sabar menunggu kedatangan Bung Karno. Sementara Bung Karno sedang mengadakan rapat kabinet di gedung Mahkamah Agung (sekarang) untuk memutuskan menghadiri rapat tersebut atau tidak berhubung kondisi keamanan bagi para pemimpin Republik tidak kondusif. Dalam ketidak pastian itu Bung Karno memutuskan segera menemui rakyatnya. Maka pada jam 1600, 19 September 1945 bersama Bung Hatta, Dwitunggal masuk ke dalam iringan mobil yang dikawal ketat oleh para pemuda, sementara Daan Yahya dan Soebianto Joyohadikusumo naik sepeda motor sebagai voorrijder. Waktu sampai di Lapangan Ikada rakyat bersorak gemuruh dengan pekik “Hidup Bung Karno – Hidup Bung Hatta! Merdeka! Merdeka! Merdeka! Membahana seolah membuat Jakarta bergetar. Sebaliknya bagi para serdadu Jepang dengan bayonet terhunus mereka terbengong – bengong bercampur kecut masai dibuatnya.

Bung Karno dan Bung Hatta dikawal oleh Mufrani Mukmin bekas Shoodanchoo tentara PETA, Bung Karno menaiki podium. Pidatonya begitu singkat. Percayakah Rakyat kepada Pemerintah Republik Indonesia ? tanya Bung Karno. “Percaya”!, sahut rakyat serentak tak kalah menggelarnya. Bung Karno melanjutkan amanatnya. “Kalau begitu kami dari Pemerintah akan tetap menanggung jawab terhadap rakyat walaupun andai kata rakyat nanti akan merobek – robek dada kami. Sekarang saya minta dengan tenang dan tenteram, Saudara – Saudara pulang meninggalkan rapat dengan menunggu perintah dalam keadaan siap siaga”! Itulah pidato terpendek Bung Karno setelah Proklamasi .

Tak kurang 200.000 rakyat yang hadir mematuhi perintah Bung Karno. Setelah mereka meninggalkan Lapangan Ikada, dengan rasa bangga mereka berbaris keliling kota sambil menyanyikan lagu “Dari Barat Sampai Ke Timur dll.

Pasukan Sekutu yang pertama mendarat di Tanjung Priok, pada 29 September 1945, tak kurang dari 2.000 serdadu Inggris. Pada hari itu Letnan Jenderal Sir Philip Christinson, Panglima Allied Forces Nertherlands East Indies (AFNEI) memberikan keterangan kepada pers yang disiarkan oleh radio Singapura. Keterangannya amat menggemparkan pihak Belanda karena mengakui Republik Indonesia sebagai suatu realitas yang bantuannya dibutuhkan dalam melaksanakan misi tentara Sekutu. Suatu pengakuan defacto terhadap Republik. (Paska Proklamasi Negara & Revolusi, Soebadio Sastrosatomo, Majalah Mawas Diri September 1995, hal. 39 – 51).

Sebagaimana perjuangan itu mengenal pasang surut, setelah Bandung dikuasai oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada akhir Sepember 1945, Kemudian Jepang berbalik menguasainya kembali, sehingga tatkala tentara Sekutu tiba pada pertengahan Oktober, Bandung telah sunyi semangat revolusinya. Sementara di Semarang, Kidobutai menyerang pemuda Indonesia, akibatnya kurang lebih 2.000 orang tewasdalam pertempuran yang berlangsung enam hari itu.

Pada 5 Oktober 1945 Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk dan pada 20 Oktober 1945 Presiden Soekarno mengangkat :

  • Menteri Keamana Rakyat ad in : M. Soeljoadikoesoemo.
  • Pemimpin tetinggi TKR : Supriyadi
  • Kepala Staf Umum : R. Urip Somaharjo.

Saat konferensi TKR, Supriadi tidak terlihat maka Kol. Sudirman di daulat menjadi Panglima Besar TKR dan oleh Bung Karno dilantiknya pada 18 Desember 1945 dengan pangkat Jenderal sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia. Dan Letjen Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf.

Pada 24 Januari 46 TKR menjadi TRI, selanjutnya pada 3 Juni 1946 terjadi penggabungan seluruh laskar dengan TRI menjadi TNI oleh Bung Karno.

Sementara sebelum itu, Jepang berhasil membersihkan Semarang dari kekuasaan Republik. Pada 20 Oktober 1945 tentara Sekutu tiba di Semarang dan mulai menuju Ambarawa dan Magelang untuk mengungsikan kaum interniran. Pertempuran kembali meletus dengan sengitnya yang membuat serdadu – serdadu Ghurka dari tentara Sekutu kewalahan. Dalam pertempuran di Magelang dan Ambarawapemimpin BKR Banyumas Kol. Sudirman, memegang peranan penting untuk memaksa Sekutu mundur. Pinpinan tentara Inggris di Jakarta meminta tolong kepada Presiden Soekarno guna menghentikan serangan pihak Indonesia. Maka pada 1 November 1945 Bung Karno bersama Amir Syarifuddin terbang ke Semarang kemudian pergi ke Magelang sehingga otomatis genjatan senjata pun tercapai.

Di Surabaya pun memiliki pola yang sama di bawah kendali Bung Tomo dan Tentara Sekutu yang diboncengi NIKA (Netherland Indies Civil Administration) mendarat pada 20 Oktober 1945. Bung Tomo dengan berkobar – kobar membakar api semangat perjuangan melalui corong Radio Pemberontakan. Tentara Sekutu memulai bergerak untuk menguasai kota Surabaya akan tetapi dilawan oleh Pemuda. Ternyata pertempuran di Surabaya pun tidak menguntungkan Sekutu. Brigade ke 49 Inggristerancam akan dimusnahkannya. Lagi – lagi Jenderal Hawthorn yang terjepit meminta pertolongan pada Presiden Soekarno agar diberhentikan penggempuran terhadap Brigade 49.

Bung Karno, Bung Hatta dan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya pada 29 Oktober 1945 dan segera melakukan perundingan dengan pihak Inggris maka persetujuan pun tercapai dan Bung Karno CS segera kembali ke Jakarta. Tetapi saat berpatroli dengan Inggris – Indonesia berusaha menimbulkan ketertiban. Sayang entah siapa yang mulai tembak – menembak pun terjadi lagi dan tragisnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby tewas. Keadaan seketika memburuk dan Inggris segera memperkuat tentaranya di Surabaya. Jenderal Mansergh memberikan ultimatum agar supaya Pemuda Indonesia segera menyerahkan senjatanya, yang disertai dengan ancaman. Tentu hal itu justru ditolaknya!. Merdeka atau mati!

Dalam detik – detik yang menegangkan itu Bung Tomo justru tak berada di Surabaya karena ia bersama Krisnabu pada 8 – 11 November 1945 menghadiri “Konggres Pemuda I” paska kemerdekaan di Balai Mataram kini gedung Seni Sono di Jl. Malioboro, Jogyakarta yang dibuka langsung oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Federasi dari seluruh organisasi pemuda dijadikan Badan Konggres Pemuda Republik Indonesai (BKPRI). Konggres tersebut demi mempersatukan dan membulatkan tekad sikap politik pemuda agar tetap mendukung Negara Proklamasi secara konsekwen dan konsisten. Banyak utusan Pemuda dari luar Jawa yang gagal mengikuti konggres karena diblokade oleh Belanda. Dari Aceh terpaksa diwakili pemudanya yang bermukin di Jakarta yakni Syarif Thayib & M. Hasan Gayo, serta Arifin Tamiang. Dari Sumbar berhasil sampai Jakarta yakni Wiber Barmawi. Pada tanggal 10 November terdengar siaran radio bahwa Surabaya jam 0600 pagi, dibombardir oleh Sekutu baik dari udara, laut dan darat. Maka wakil dari Surabaya Krisnabu yang kebetulan sebagai Pemimpin Sidang marah luar biasa demikian pula Bung Tomo maka sebelum meninggalkan Jogya pekik merdeka dan semboyan hancurkan Inggris, hidup atau mati menggema dan menjalar ke seluruh urat syaraf para peserta sidang. Kemudian pimpinan sidang diserahkan kepada Ibnu Parna, pemuda AMRISemarang. Maka suasana sidang menjadi kacau tak dapat dielakannya sekalipun ia telah berusaha semaksimal mungkin.

Toh dengan perhatian yang terpecah pada 11 November 1945 terbentuklah “Pemuda Sosialis Indonesia” (PESINDO) maka leburlah API ke dalamnya. Setibanya kembali di Surabaya Bung Tomo tak kalah garang menyerukan kepada arek – arek Surabaya supaya bangkit melawan musuh!. Pertempuran berdarah – darah di Surabaya memperlihatkan semangat juang yang heroik bagi arek – arek Surabaya tak kurang 16.000 orang gugur menjadi syuhada. Sekalipun bersenjatakan apa adanya arek – arek Surabaya tak menyurutkan nyalinya menghadapi persenjataan mutakhir Sekutu. Merdeka atau mati menjadi semboyan para pejuang guna membela negara yang amat mereka cintai. Oleh sebab itulah mengapa tanggal 10 November diperingati sebagai “Hari Pahlawan”.

Provokasi dan intimidasi pihak Belanda meraja lela & mengancam keselamatan NPKRI sehingga Bung Karno & Bung Hatta terpaksa hijrah ke kota Jogyakarta pada 4 Januari 1946.

Pada 20 November 1946 Letkol Ngurahrai, Danrem Sunda Kecil gugur beserta pasukannya di desa Marga, mereka memiliki prinsip lebih baik mati berkalang tanah dari pada tunduk di telapak kaki Belanda. Demikian pula di tempat – tempat lain jiwa kepahlawanan tersemai kendatipun pengkhianat terhadap Negara pun subur jua adanya. Untuk melukiskan bela negara telah kita sajijan pada bahasan terdahulu bahwa seorang Belanda yang anti Indonesia melukiskan bila trend pertempuran seperti di Surabaya itu maka akan tenggelam oleh lautan darah.

Maka perundingan demi perundingan akal licik Belanda yang menjalankan politik devide at impera dengan selalu melakukan deviasi atas perjanjian yang telah disepakatinya.

Sehingga setelah perjanjian Linggar Jati yang ditandatangani pada 25 Maret 1947, yang terdiri dari 17 pasal. Bung Karno menyatakan bahwa : “Naskah Linggarjati ! Belanda menandatangani naskah itu. Ia menandatangani dengan penanya. Tetapi ia tidak menandatangani itu dengan hatinya”.

1. Perang Kemerdekaan Pertama, 21 Juli 1947

Seiring penghentian tembak – menembak dan ditandatanganinya perjanjian Linggar Jati, maka telah melapangkan jalan adanya timbang terima antara Inggris dengan Belanda, sehingga tentara Inggris ditarik pada akhir November 1946 dari Indonesia. Praktis Belanda bersimaharaja lela dan mendaratkan pasukannya di Jawa & Madura , seluruh Divisi India XXIII dipusatkan di Bandung, tentara Belanda begitu leluasa masuk ke Indonesia. Bagi Belanda itu suatu keharusan karena seperempat kekayaan Belanda tertanam di Indonesia maka mereka berkeyakinan bila kehilangan Hindia Belandanya berarti melahirkan mala petaka baginya (Indie verlorem ramps poed geboven). Karena Curasao dan Suriname sebagai koloninya tidak ada apa – apanya bila dibandingkan dengan Indonesia.

Kemudian terjadilah puncak aksi polisionil atau tepatnya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Seluruh persenjataan baik senjata laras panjang, meriam, mitrailleur dan bom dimuntahkan kepada rakyat Indonesia. Belanda memulai serangannya dari Jakarta, Bogor & Bandung, terus bergerak ke seluruh daerah Jawa Barat dengan Divisi C/7. Divisi B bergerak dari Bandung ke Cirebon, Semarang, Tegal, Purwakerto dan Cilacap di Jawa Tengah. Di Jawa Timur serangan dimulai dari Surabaya dengan mengerahkan Divisi A yang merupakan gabungan dari Brigade Marinir. Selain itu mereka juga melakukan operasi Amphibi di Semenanjung Jawa Timur. Hampir seluruh kota di Jawa diserang dan ditembaki dari udara. Untuk menyerang Sumatera, Belanda mengerahkan 3 brigade . Serangan dimulai dari Medan dan seterusnya seluruh Sumatera Timur dengan brigade Z. Guna merebut Padang dan sekitarnya digerakkan brigade U sementara brigade Y menduduki Palembang, Bengkulu dan Jambi.

Ratusan ribu pejuang dan rakyat Indonesia gugur demi mempertahankan dignity negara Proklamasinya sekalipun dengan persenjataan bambu runcing dan pesenjataan ala kadarnya tidaklah menyurutkan semangat juang, semangat bela negara anak – anak Republik Indonesia. Oleh sebab itu muncullah kemudian “Perjanjian Renville”(nama kapal perang AS, yang merapat di Tanjung Priok) yang diadakan pada 12 Desember 1947 dan ditandatangani pada 17 & 19 Januari 1948 oleh PM.Amir Syarifuddin. Dimana dokumen I, berisi tentang genjatan perang (cease fire), yaitu dokumen “trust agreement”. Dokumen II, berisi dokumen – dokumen yang berupa dasar – dasar untuk mencapai tujuan politik yang dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok I berisi 12 pasal usulan Belanda dan sebagian isi perjanjian Linggarjati. Kelompok II, berisi 6 pasal sebagai tambahan yang dikenal dengan “The six additional principles”, dari Komisi Tiga Negara. Pasal 1 nya berisi bahwa : “Kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda tetap di tangan Belanda sebelum diserahkan kelak ke Negara Indonesia Serikat”.

Namun tak ayal menuai konflik karena sebagian besar elit partai politik menolaknya sebaliknya Belanda juga mengultimatum pemerintah agar segera membentuk negara RIS.

2. Perang Kemerdekaan ke Dua, 19 Desember 1948

Upaya operasi – operasi territorial dan justisionil belum sempat dilakukan atas pemberontakan PKI Madiun akibatnya banyak pemimpin dan kader – kader PKI yang lolos yang kelaknya melakukan petualangannya kembali. Toh telah menyusul pula Agresi Milier II.

Pemerintahan segera membentuk Kabinet Hatta II pada 14 Agustus 1948 yang berakhir pada 20 Desember 1949.

Di sisi lain Belanda mengabaikan peringatan Republik bahkan pada 11 Desember 1948 dengan resmi Pemerintahan Belanda memutuskan perundingan sama sekali. Usaha Komisi Jasa baik (Australia – Belgia & Amerika Serikat) gagal total. Dan pada 17 Desember 1948 Belanda mengirimkan nota yang hanya memberikan waktu 24 jam, praktis suasana menjadi begitu g

enting. Sementara saluran telepone pun diputusnya semua dan semua rahasia republik telah berhasil disadapnya termasuk rencana latihan perang pada 19 Desember tersebut. Namun pada 18 Desember masih menerima telegram dari Jakarta, yang menyatakan pada 19 Desember 1948 Consul Jenderal Inggris akan datang ke Jogya, untuk melakukan usaha terakhir guna mengelakkan bencana perang.

Namun karena Belanda menganggap kita tidak dapat mematuhi keinginan dan dead line mereka, bukannya pesawat membawa Konsul Jenderal Inggris tersebut justru lagi – lagi aksi polisionil atau Agresi Militer II digelar pada 19 Desember 1948, pesawat – pesawat pembom Belanda meraung – raung di atas kota Jogya. Belanda mengerahkan kekuatan militer tak kurang dari 140.000 orang termasuk 63.000 tentara KNIL (Koninklijk Nedherlansch Indische Leger). Lanud Maguwo dibombardir demikian pula kota Jogyakarta. Kota Jogya banjir darah, ratuan orang tewas, begitu kejinya Belanda. Belanda yang licik, memanfaatkan masa reses pejabat Dewan Keamanan PBB, karena mereka akan menjalankan liburan Natal, dengan harapan saat sidang mendatang Januari 1949 Republik Indonesia sudah tiada. Disamping Jogyakarta di Sumatera Utara Pasukan Belanda mendarat pada 23 Desember 1948 di sekitar Balige vis Danau Toba dengan menjatuhkan airborn di Lanud Siborang – Borang terus merangsek dan menduduki Sibolga.

Kontan adanya agresi tersebut para pejabat Anggota DK PBB, membatalkan liburannya dan pada 22 Desember 1948 mulai bersidang kembali di Paris dan pada 24 Desember 1948 DK PBB menyerukan diberhentikannya permusuhan dan supaya ke dua belah pihak memulai jalan damai kembali”. Dalam sidang tersebut pihak Belanda tak ubahnya sebagai pesakitan karena tidak saja anggota DK PBB bahkan wakil – wakil perutusan negara – negara Asia pun menyudutkan Belanda . Menurut Dr. J. G de Beus, salah seorang wakil Belanda, dalam bukunya “Morgen bij het aanbreken van de dag”, semua negara – negara itu bersikap seperti penuntut umum dan sekaligus hakim dalam sidang mahkahmah yang sedang mengadili Belanda. Serangan Belanda terhadap Jogya dengan mempergunakan tentara payung disamakan dengan penyerangan Jerman terhadap ibu kota Den Haag pada bulan Mei 1940”.

Bung Karno & Bung Hatta CS sebelum ditangkap oleh Belanda dan kemudian diasingkan ke Prapat dan selanjutnya ke Bangka, Sumatera, masih sempat memimpin rapat dan dengan piawai Bung Karno telah memberi amanat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafrudin Prawiranegara dalam kabinet Hatta yang sedang berada di Bukittinggi guna membentuk "Pemerintahan Darurat Republik Indonesia" (PDRI). Sebagai solusi ke dua, bila itu pun gagal maka Bung Karno juga memerintahkan kepada Soedarsono (wakil RI di New Delhi) dan L. N. Palar (wakil RI di PBB) serta A. A Maramis yang sedang berada di New Delhi untuk melaksanakan "exile government RI" di India (Pemerintahan Pengasingan).

Pembenaran apapun yang dilakukan oleh Belanda, Bung Karno menyanggahnya atas alasan Belanda, bahwa : “……. Ya, kami mengetahui adanya berbagai pemberontakan di Jawa Barat, ‘The West is becoming the Wild West’, itu kami mengetahui. Belanda mengatakan , ini pula akibat dari infiltrasi Republik. Tetapi tidakkah lebih benar kalau dikatakan bahwa itu semuanya terjadi karena penindasan oleh Belanda ?. Karena berlaku disana depotisme, karena bersimaharajalela disana barbarisme ; karena mengamuk disana teror ? Disana tidak ada kebebasan politik, sebaliknya disana ada intimidasi, dus depotisme. Disana di desa dan kapung – kampung dibakar dan dibom dus barbarisme. Disana ribuan orang tak bersalah dibinasakan oleh Westerling & semacamnya, dus teror! Disana bercakrawati kekerasan, bruut geweld. Kekerasan zonder keadilan adalah depotisme. Kekerasan zonder peri kemanusiaan adalah barbarisme. Kekerasan zonder maksud lain melainkan untuk membuat orang menjadi takut adalah teror. Dan kekerasan untuk kekerasan adalah facisme. Di Pasundan adalah berjalan metode – metode fasisme, dus rakyatnya berontak” (Pidato Bung Karno, 17 Agustus 1948, Dibawah Bendera Revolusi Jilid II hal.68).

Jawa Barat memang memiliki semangat juang yang tinggi sehingga terjadi berbagai pemberontakan terhadap Jepang maupun Belanda seperti di Singaparna, Indramayu, Cimahi dan lain sebagainya.

Pada 22 Desember 1948, Bung Karno dan Bung Hatta, Kastaf A. U. S. Suryadharma, Mr. Asaad, Mr. A. Pringgodigdo, H. A. Salim, Mr. Ali Sastroamijoyo dan Sutan Syahrir, sebelum diangkut oleh pesawat tempur bomber B 25 Belanda di Maguo,

Ternyata Republik masih eksis & sanggup mengadakan perlawanan militer. Sehinggaperundingan Roem – van Royen terpaksa digelar pada 7 Mei 1949 yang berisi antara lain :

1. Tentara Belanda akan ditarik dari Jogya dan Jogya akan diserahkan kembali kepada Republik Indonesia serta para pemimpin Republik akan segera dikembalikan ke Jogya.

2. Akan dinyatakan adanya case fire, penghentian tembak – menembak di kedua belah pihak

3. Akan diadakannya KMB, antara Belanda, RI dan negara - negara federal, guna penyerahan kedaulatan & Pembentukan Uni Belanda – Indonesia.

Maka TNI kembali masuk ke ibu kota negara pada 24 Juni 1949 dan Bung Karno dan Bung Hatta CS pada 6 Juli 1949 serta Pak Dirman dkk, kembali ke ibu kota baru pada 24 Juli 1949.

Dan eloknya penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda, pada 27 Desember 1949 ke RIS yang diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Secara historisi moyangnya Sultan Agung (abad XVII) dan Pangeran Dipo Negoro (abad XIX) telah berjuang mengusir Belanda namun baru era Sultan HB IX lah (abad XX) upaya tersebut tiga abad baru dapat berhasil dengan gemilang.

Pada 30 Desember 1949 Menteri Penerangan Arnold Monohutu mengumumkan nama "Batavia" menjadi "Jakarta".

Bung Karno sebagai Presiden , dengan menggunakan UUD RIS, sementara negara bagian Republik Indonesia, Presidennya dijabat oleh Mr. Asaad yang tetap menggunakan UUD 1945 dimana UU Pelaksanaannya dengan UU No. 22/1949.

Namun sebagaimana tuntutan adi kodratinya, & amanat Negara Proklamasi, setelah lima tahun negara yang dicabik – cabik oleh Belanda ini akhirnya bangkit kembali rasa kesatuan & persatuannya sehingga dari Malang yang segera ingin bergabung kembali dengan R. I yang kemudian segera diikuti oleh Sukabumi dan lain – lain akhirnya pada 9 Maret 1950 Negara - Negara bagian dan daerah yakni : Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Padang, Sabang, Pasundan dikembalikan resmi dibawah panji – panjinya Republik, disusul pada tanggal 24 Maret oleh Jakarta, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur.Menyusul pada 4 April 1950 oleh Banjar, Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Kotawaringin, Bangka, Belitung dan Riau. Maka per 5 April 1950 tinggal 3 daerah yang belum bergabung yakni Republik sendiri dan Indonesia Timur serta Sumatera Timur. Maka dengan adanya kegigihan serta upaya mempersatukan Republik Indonesia, amanat Proklamasi itu kembali dapat direngkuh dan dipertahankannya. Akhirnya terbentuklah kembali “Negara Kesatuan Republik Indonesia” pada 17 Agustus 1950, sehingga NRIS hanyalah sebuah bayang – bayang Pemerintahan Belanda yang hanya berumur tak lebih dari 7.5 bulan dan rakyat Indonesia begitu cintanya terhadap Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia.

Sebaliknya selama kurun waktu tersebut Kabinet Hatta telah menelorkan : 36 undang – undang darurat; 24 Peraturan Pemerintah; dan Penpres sebanyak 395 buah dan dewan sidang menteri telah diselenggarakan sebanyak 45 kali. Nah bagaimana dengan DPR dan Pemerintahan reformasi dan atau transisional saat ini ?.

4. Negara Kesatuan Republik Indonesia, 17 Agustus 1950

Usai penyerahan kedaulatan tersebut, maka pada 17 Agustus 1950 terbentuklah kembali suatu negara republik yakni Negara “Republik Kesatuan Indonesia”, karena RIS tak lagi sesuai dengan amanat Negara Proklamasi maka semua Negara Bagian RIS (16 negara) membubarkan diri, termasuk Republik Indonesia yang dilahirkan dalam rahimnya revolusi.

Akibat Belanda kehabisan akal dan harus enyah dari bumi Nusantara maka tentara KNIL dibubarkan pada 26 Juli 1950, yang menyisakan banyak persoalan (termasuk RMS) karena Belanda tidak memenuhi perjanjian yang telah disepakatinya bahkan sebenarnya Belanda masih akan menggelar Agresi Militer III namun diurungkan.

Atas kenyataan tuntutan sejarah tersebut Dwitunggal Soekarno – Hatta menerima kembali mandat yang diemban Mr. Asaad dan menjadi Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan mencabut UUD RIS dan digantikan dengan UUDS yang liberalistic Kabinet RIS segera digantikan oleh Kabinet R. I Kesatuan I di bawah M. Natsir terbentuk pada 6 September 1950 yang hanya berlangsung selama 6 bulan, hingga 27 Mei 1951. Segera digantikan oleh Kabinet Sukiman, Kabinet R. I Kesatuan II dari 27 April 1951 hingga 3 April 1952. Krisis kabinet dan parlemen saling susul – menyusul, maka pada 3 April 1952 terbentuklah Kabinet Wilopo yang merupakan Kabinet R. I. Kesatuan III hingga 30 Juli 1953. Kemudian Kabinet Ali Wongso yang masih menggunakan Kabinet R. I. Kesatuan IV yang berumur lebih tiga tahun hingga 12 Agustus 1955. Dan digantikan oleh Kabinet Burhanudin Harahap mulai 12 Agustus 1955 hingga 3 Maret 1956.

Pada saat itulah Pemilu terdemokratis selama NKRI berdiri digelar yakni Pemilu untuk Legislatif pada 29 September 1955 dan Pemilu untuk Konstituante pada 15 Desember 1955.

Kabinet jatuh bangun maka segera dibentuk Kabinet Ali Sastro II pun terbentuk pada 24 Maret 1956 sampai dengan 1957. Dan dicoba Kabinet non partai yang dinamakan Kabinet Karya di bawah PM. Ir. Juanda dari 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959. Selama Sembilan tahun tak kurang dari 17 kali krisis Kabinet. Oleh sebab itu guna menyelamatkan Negara Proklamasi atas masukan dari Jenderal A. H. Nasution, Bung Karno terpaksa mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945.

Maka terbentuklan Kabinet Inti dari 10 Juli 1959 sayang hanya berumur sampai 18 Februari 1960. Resufle Kabinet sebuah keniscayaan maka terbentuklah Kabinet Inti II dari 18 Februari 1960 hingga 6 Maret 1963. Selanjutnya terbentuk Kabinet Karya III dari 13 November 1963 hingga 27 Agustus 1964 dan Kabinet Dwikora dari 27 Agustus 1964 hingga 21 Februari 1966.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar