Seiring selesainya program 100 hari di tahun kerbau yang lalu, DPR jalanan pun marak dengan atribut ‘KERBAU Si Bu Ya”nya, sayang dimaknai keliru sehingga membuat gusar beliau. Sapi (kerbau – banteng) jaman dulu justru menjadi nama para kusuma bangsa seperti Mahesa Jenar, Kobo Kanigoro, Kebo Kenanga, Kebo Umar Cuet, Lembu Sora, Munding Wangi, Munding Laya bahkan kepala banteng dijadikan simbul “Sila IV”. Bahkan di dalam agama Hindu maupun Islam sendiri lembu tersebut memilki derajat istimewa sehingga dalam QS ada Surat Al – Baqarah! Bukankah tenaganya dapat dijadikan alat pembajak dan transportasi ?
Susunya dapat mencerdaskan dan menyehatkan anak – anak bangsa ?, dagingnya “ditto” bahkan kulitnya dapat dijadikan pertanda tibanya waktunya shalat dan atau dapat membuat ritme tarian yang kadang licah kadang sendu mendayu kadang garang dan seterusnya. Tak terkecuali telethong dan urinenya dapat dijadikan energy gas dan pupuk//
Di kalangan kraton sendiri bila kirab tanpa kehadiran ‘SANG KERBAU
BULE”, kurang afdol dan konon akan berdampak buruk ?.
Bandingkan dengan diri kita yang merasa sok suci ? dari 9 babahan hawa sanga kita hanya menjadi sumber bau tidak sedap, namun karena masih kedunungan ROH semua berbalik ibarat “tai kucing serasa coklat”, apa lagi manakala roh (rahmani) itu sedang menguasi diri kita sehingga saat pacaran hanya keindahan dan kenikmatan
itulah yang ada. Apapun permintaan pacar kita kita turuti. Namun saat ROH dicabut jasad kita hanyalah membeku dan naifnya tadinya ada yang memujanya, merindukannya sontak ada yangtak berani mendekat bahkan dikatakannya menjadi hantu! Naifnya lagi jasad yang membujur kaku kemudian sangat dinantikan sebagai santapan uret – uret, ulat, belatung dan cacing tanah.
Kecuali ada yang mau kembali pada zaman pra sejarah yang mengawetkan jasad wadag dengan berbagai cara itu seperti di Mesir kuno atau di Trunyam Bali yang tanpa diawetkan namun tak mengeluarkan bau apapun//Mari kita renungkan berguna laskana mana antara kita dengan kerbau itu ?
Bila kita yang ditasbihkan sebagai kalifah yang bertugas mewujudkan terciptanya rahmatan lil alamin, atau memakmurkan alam smeseta namun justru melakukan "DEHUMANISASI" apapaun alasannya? Nah jumbuhkah dewngan 'RASA ING PANGRASA" ? SEBAGAI MANUNGSA ?
• Akibat UUD 2002 yang telah menghapus DPA, maka sebagai hak prerogative Presiden, Lembaga kepresidenan membentuk satuan – satuan tugas seperti : berbagai asisten khusus; juru bicara Kepresidenan; Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres); Unit Kerja Presiden Pengawasan & Pengendalian Pembangunan (ketua :Kuntoro M); Unit Kerja Presiden Bidang Pengelolaan Program & Reformasi Ket : Marsilam Simanjuntak) dan satgas pemberantasan mafia hukum dan korupsi.
Belum lagi berbagai LNS (lembaga non structural) dll yang begitu banyak dan tumpang tindih.
%. Liputan6.com, Jakarta: Deklarasi "Suara Anak Indonesia" batal dibacakan di hadapan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Hari Anak Nasional di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, Jumat (23/7) siang. Pembatalan, membuat kecewa ratusan anak yang merumuskan delapan butir aspirasinya dalam kongres anak di Bangka Belitung pada 22 Juli lalu.
Kekecewaan mendalam di antaranya dirasakan Arief Rochman Hakim. Peserta dari Bangka Belitung ini mengaku merasa aspirasinya dibatasi. "Kami sangat kecewa," kata Arif. Pun demikian dengan Maesa Ranggawati Kusnandar, perwakilan dari Jawa Barat. Dia mengaku acara pembacaan deklarasi "Suara Anak Indonesia" sudah ditunggu-tunggu oleh anak-anak lainnya.
Apa yang menimpa dua wakil kongres anak itu sungguh bertolak belakang dengan apa yang
berulang kali disampaikan Presiden SBY di acara itu. Apalagi di saat bersamaan Presiden Yudhoyono juga mencanangkan Gerakan Nasional Indonesia Sayang Anak. Apabila demikian, benarkah negeri ini masih memprioritaskan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa(JUM)!
Ini bukanlah kesalahan SBY melainkan Panitya yang tidaklah bijak esensi peringatan anak Indonesia namun suara mereka yang disuarakan dalam konggres anak di Babel yang dihadiri 300 anak dari seluruh Nusantara sehingga mampu merumuskan 10 diktum Deklarasi Anak Indonesia pada 22 Juli 2010 menjadi menjadi mubazir adanya. lalu apa hikmah dari kasus ini ?
Mengapa bahasan Mahesa bersamaan dengan kasus Mahesa diikuti pula pada Mahesa Ranggawati yang gagal membacakan deklarasi tersebut ?. Kemudian bila beberapa hari lalu secara tidak langsung banyak masyarakat yang merasa terganggu dengan konvoi rombongan SBY, kini kekecewaan pun justru dirasakan oleh anak - anak Indonesia yang ironisnya terjadi pada hari bersejarah "Hari Anak Indonesia", 23 Juli 2010.
DAUR ULANG SEJARAH : IBARAT SIRIH TEMU ROSE LEMAH KUREP BILA DIGIGIT SAMA RASANYA
Sidang pembaca yang budiman esensi kesamaan kuduanya adalah pada kerapuhan, kerentanan dan kekeroposan sebuah rezim akibat inviltrasi agama baru bagi mayoritas penganut Syiwa (Hindu) Buddha tatwa yang kala itu dianut oleh sebagai besar warga kerajaan Majapahit. Seiring dengan perjalanan sang waktu maaka Kemudian penyebaran Islam berhasil mencapai kejayaannya sebagai hegomoni bangsa yang jumlahnya kini > 90 % jumlah penduduk Nusantara. Namun sebagai mayoritas penduduk nampaknya sulit untuk dapat menafikan bahwa umat Islam Indonesia secara social ekonomi justru sebaliknya karena ditinjau dari sisi kwalitasnya justru menjadi minoritas.
Para tokoh agamawan, para kyai dan ulama telah menorehkan maha karya baik yang terwadahi oleh organisasi keagamaan seperti NadLatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang ikut membidani lahirnya Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia mereka sepakat untuk mendirikan Negara Proklamasi yang berdasarkan “PANCASILA”. Apa lagi NU dengan nandliyinnya yang terbesar itu dari awal memiliki pedoman: "Al – muhafazhah 'ala al – shalih wa al akhzubi al – jaded al ashlah" atau "Menjunjung tinggi warisan leluhur yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik".
Demikian pula Muhammadiyah, yang keduanya telah mempelopori pula disamping pendidikan tradisional dalam bentuk Pondok Pesantren juga mendirikan berbagai pendidikan modern bahkan rumah sakit dll. Namun nampaknya dengan semakin tingginya ledakan penduduk terasa bahwa semua karya dan dharma itu masih belum dapat mengimbangi kebutuhan masyarakat luas. Para ulama pun dalam munasnya di Situbondo pada 1983 secara aklamasi telah menerima “Pancasila sebagai satu – satunya azas”. Namun bagaimana perkembangan berikutnya ?.
Kini diusianya 65 tahun Indonesia merdeka kemapanan pilar keberagmaan kembali terusik oleh membanjirnya idiologi Islam transnasional yang mengusung kekerasan menjadi landasan perjuangan yang memiliki motto : “Hidup sejahtera atau mati sahid” dan menghalalkan darah orang lain dan atau pemaksaan kehendak serta mengambil alih domain kepolisian dll. Yang semua itu sejatinya justru mendegradasi dan merendahkan nilai - nilai Islami yang dipegang teguh oleh kedua organisasi agama terbesar di tanah air ini. Bahaya ini tidak saja menghantui eksistensi ke dua lembaga agama terbesar tsb. akan tetapi juga mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara.
Sebagai upaya cegah dan tangkal, keduanya mengadakan survey dan membuat buku dengan judul “ILUSI NEGARA ISLAM EKSPANSI GERAKAN ISLAM TRANSNASIONAL INDONESIA” yang diterbitkan oleh LibForAll Foundation, dimana bedah buku dilaksanakan pada 16 Mei 2009 di Hotel Grand Melia Jakarta. Strategi mereka disinyalir begitu canggihnya seperti : dengan penguasaan masjid, penyusupan ke institusi pendidikan dan atau ke pengajian – pengajian yang nota bene merupakan anggota Muhammadiyah dan atau NU. (bahkan ke MUI dan juga ke berbagai lembaga /institusi Negara).
Tuduhan pengikisan umat itu dialamatkan ke Partai PKS dan penyokong gerakan Negara Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bersama Ikhwanul Muslimin, ketiganya dalam buku ini dianggap berusaha mengubah wajah Islam Indonesia yang santun dan toleran menjadi wajah yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian dan merasa berhak mnguasai. (Gatra 3 Juni 2009 “Peperangan Pendawa Melawan Kurawa”0.
Maka dapatlah dipahami bila kedua lembaga tersebut seiring muktamar dalam rangka penetapan Pengurus baru , pejabat terasnya ada yang diambilkan dari mantan pentholan BIN yang ulama.
Yang lebih memperihatinkan dalam milis Hizbut Tahrir (bila itu benar miliknya) mereka “MENGHARAMKAN PANCASILA & menjungkir balikkan lambang ‘GARUDA PANCASILA” yang oleh mereka dianggap sebagai ‘BERHALA”. QUOVADIS BANGSAKU!
Sekalipun kita merasa (agak) lega karena akhir –akhir ini baik MUI, Muhammadiyah dan NU melarang dan mengharamkan “TINDAK KEKERASAN” atas nama agama! Pemerintah sebagai penyelenggara Negara tentunya tidak boleh membiarkan upaya militansi tersebut berjaya sehingga NEGARA PROKLAMASI KESATUAN REPUBLIK INDONESIA” tercabik – cabik dan menyusul nasib kerajaan Nasional Sriwijaya, Singhari dan Majapahit. Nah layakkah yang tidak pernah ikut berjuang dan memanggul senjata serta mempertahankan Negara Proklamasi jutru berlaku seenaknya ? Sangatlah adil bila ingin mendirikan Negara agama bukanlah di Nusantara ini yang telah tersucikan oleh darah para pejuang, para syuhada dan para pahlawan bangsa. Sebagai seorang muslim sejati tentu terikat oleh peri laku yang berbudi pekerti luhur dengan tunduk dan patuh terhadap “Aturan Negara, aturan Agama dan aturan Masyarakat Nusantara yang menjunjung tinggi “Bhinneka Tunggal ika” demi terpeliharanya “Kerukunan antar umat ber – KETUHANAN YANG MAHA ESA (tidak sekedar beragama) sebagai sebuah Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29)”.
Sebagai umat Islam yang menyusu dan menyerap sari pati bumi Nusntara mempunyai kewajiban untuk melaksanakan dan mengobarkan semangat dan jiwa “Hubbul wathan minal iman”, cinta Negara adalah sebagian dari iman. Maka seruan Ketua MK, Mahfud MD yang direleased ANTARA tgl. 22 Juli 2010 dengan judul : “ Mahfud: Negara Tidak Boleh Jadi "Tangan" Agama sangatlah bijak dan perlu dipahami bersama.
QUOTE : Jakarta (ANTARA) - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan, di dalam negara yang bukan negara agama seperti Indonesia, negara tidak boleh menjadi perpanjangan "tangan" agama. "Negara tidak boleh mewajibkan apa yang diwajibkan agama atau melarang yang dilarang agama," kata Mahfud saat menjadi pembicara dalam halaqah perdamaian International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta, Kamis. Menurutnya, kewajiban negara terkait agama adalah melindungi warganya yang memeluk agama.
Hukum agama, lanjutnya, hanya menjadi salah satu bahan di dalam penyusunan hukum negara."Itulah negara kebangsaan religius. Beda dengan negara agama," katanya. Karena itu, menurut Mahfud, sangat tidak realistis jika ada kelompok agama yang ingin memaksakan agar negara Indonesia menerapkan secara formal hukum dari agama tertentu, sekalipun agama yang dipeluk mayoritas warga negara.
"Sebenarnya, saat ini prinsip Islam sudah sangat mewarnai hukum Indonesia meski tidak diformalkan," katanya. Bahkan, dalam beberapa kasus, upaya untuk memformalkan hukum Islam di dalam hukum positif negara justru kontraproduktif, misalnya dalam kasus Rancangan Undang Undang (RUU) Pornografi. "Dulu semua fraksi setuju untuk mengatur pornografi di dalam undang-undang. Penolakan justru muncul setelah ada yang mengait- kaitkan persoalan ini dengan Islam," kata Mahfud.UNQUOTE
Di pihak yang lain, seorang pemikir yang bernama Syafi’i Anwar menyatakan bahwa : ”berpandangan pluralisme sering dipahami secara salah dengan menganggap menyamakan pandangan agama-agama yang berbeda. ”Itu salah besar, Pluralisme itu mengakui keberagaman orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, yang terpenting bukan sekedar toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain dan sadar betul bahwa keberagaman orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak azasi manusia, katanya. Lebih lanjut, ia menambahkan : ”Islam sendiri sebetulnya juga mengajarkan pluralisme”. Ia percaya, untuk mengubah pola pikir masyarakat tentang keberagaman yang beraneka ragam, solusinya adalah pendidikan pluralisme dan multi-kulturisme di sekolah. Ide tersebut sejalan dengan Deklarasi Bali tentang Membangun Kerukunan Antar Agama(21 Juli 2005). Anwar menambahkan :”Yang terutama diajarkan adalah sejarah agama-agama. Saya kira seseorang yang paham (tahu) sejarah agama-agama tidak akan pernah jadi radikal”.
Ketika ditanya, masa depan pluralisme dan multi-kulturisme di Indonesia itu seperti apa? Jawabnya pada Kompas :”Tidak selayaknya orang Islam mengklaim mayoritas karena sejak awalnya, masuknya Islam ke Indonesia melalui dakwah kultural, tak melakukan pendekatan melalui Syariah. Bahkan unsur Sufisme, Tassawuf sangat besar dalam mengembangkan Islam di Indonesia karena Islam harus beradaptasi dengan unsur lokal. Harus beradaptasi dengan kepercayaan dan kebijaksanaan lokal (local wisdom) lainnya.
Karena itulah, kalau kemudian Islam menjadi mayoritas, tidak selayaknya mereka menilai rendah kepada minoritas. Sayangnya, dakwah Wali Songo yang terbukti dalam sejarah berhasil menyebarkan Islam melalui kultural harusnya menjadi contoh. Bagaimana Sunan Kalijaga memasukkan unsur Islam dalam cerita pewayangan. Tentu itu harus dijadikan pengalaman berharga dalam melakukan dakwah”, katanya.
Atas berbagai fakta di atas maka pada galibnya "Negara Proklamasi ini esensinya telah tiada " karena satu sisi telah dijadikan "Amerikanisasi" sedangkan di sisi lain pun telah pula dijadikan "Arabisasi". Sebab apa ? karena makin menipisnya "rasa harkat nasional", makin menipisnya rasa "national dignity", makin menipisnya rasa bangga & rasa hormat terhadap kemampuan & kepribadian bangsa sendiri atau rakyatnya sendiri, sebagaimana telah diingatkan oleh Bung Karno itu.
Tak ketinggalan jauh sebelumnya, Ibnu Khaldhun (1332 – 1406 M) yang menyatakan bahwa : "Bangsa Pecundang gemar meniru bangsa yang lebih kuat, baik dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama, gaya hidup serta adat istiadat" nampaknya berlaku bagi bangsa kita ini. Bahkan lebih jauh Bung Karno sendiri, Sang Proklamator, Founding father, Presiden I, mengingatkan terjadinya " A nation in collapses" (satu bangsa yang sedang ambruk), dimana krisis demi krisis sehingga mungkin nanti menjadilah krisis itu, satu krisis total, krisis mental", paparnya.
Pendek kata demokrasi adalah suatu penghormatan atas perbedaan apapun adanya yang semuanya ditujukan untuk memayu hayuning bawana. Jadi demokrasi yang tujuannya hanyalah demi kekuasaan belaka dapat dikatakan sebagai politisasi demokrasi atau demokrasi prosedural.
Sungguhpun demikian intuisi Bung Karno tentang perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini amat tepat. Bahkan jauh hari Bung Karno telah mengingatkan perkembangan demokrasi yang terjadi saat ini bahwa : " Nyata kita dengan apa yang kita namakan demokrai itu, tidak menjadi makin kuat dan makin sentausa, melainkan menjadi makin rusak dan makin retak, makin bubrah dan makin bejat"!.
Pada peringatan 17 Agustus 1956 Bung Karno mengingatkan, bahwa : “......, kebebasan tidak berarti kenetralan. Kita tidak netral dalam menghadapi baik dan buruk, ... Kita tidak netral dalam menghadapi pilihan idiologi. Kita pasti memihak kepada ajaran Pancasila. Adakah suatu politik yang dipimpin oleh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menjunjung tinggi rasa perikemanusiaan, yang menghormati rasa kebangsaan, yang mempraktekkan kedaulatan rakyat, yang melaksanakan cita – cita keadilan sosial. Adalah politik yang demikian itu suatu politik yang tak mempunyai moral ? Jika orang belum dapat menilai moral yang setinggi itu, maka sungguh kita tidak mengerti apa yang dinamakan moral !
Sebagai kata akhir dari renungan daur ulang sejarah ini terkait dengan “JASMERAH”, narasi sejarah lahir, tumbuh dan dewasanya “PANCASILA” sebagai rahim kebudayaan berarti bangsa ini harus memahami terhadap gagasan atau alam piker dan makna yang berkaitan dengan factor social, politik, ekonomi, cultural dan religi serta moral dan spiritual bangsa. Maka kembali ke PANCASILA dan UUD 1945 pra amandmen adalah merupakan “condition sine quanon” sebagai langkah awal melasanakan wasiat, amanat dan warisan serta amanah para founding fathers dan kemudian melaksanakan UUD 1945 seca murni, konsisten, konsekwen dan berkesinambungan agar amanat penderitaan rakyat itu dapat terlaksana dengan baik, benar, tepat dan bersih.//
Marilah kita belajar menjadikan diri kita masing – masing sebagai Proklamatoris (pewaris NPKRI) yang berjiwa Pancasilais ; yang Islami, yang Christiani, yang Hinduis, yang Budais, yang Kong Hu Chuis dan atau yang spiritualis.
Jangan sampai apa yang dikatakan Dimas Darma Eka sebagai pasemon bahwa : “Jika Togog, Semar dan Bathara Guru tdk menyatu, goro-goro yg terjadi.....jika cipto, roso dan karso tidak menyatu, kemunafikan yang dialami.......jika tubuh, roh dan dzat hidup tidak menyatu, keraguan langkah dalam hidup yang terjadi.....jika Shiwa, Brahma dan Wisnu tidak menyatu, kehancuran alam yang terjadi......jika ekskutif, legislatif dan yudikatif tidak menyatu, kebobrokan mental yg terjadi....
Semua kitab suci yg diturunkan manusia berupa "pasemon/sanepo" banyak juga yg berisi sentilan2 hati.... begitu juga dengan kitab yang tersirat baik dalam alam manusia maupun alam jagad raya.....
Jika manusia sudah "kebal" dengan sentilan2 hati pada kitab yang dianutnya....jika manusia sudah "ndableg" dengan sentilan yg diberikan alam.... Maka jangan salahkan jika pusaran energi alam akan me-revolusi penghuninya.... sebab alam butuh keseimbangan...seperti halnya negara butuh keutuhan dan kesatuan ketiga faktornya, bukan saling jegal dan menjatuhkan apalagi saling mencari isi....rekening “ unquote!
Daur Ulang bagian dari Alam Sementa Raya dengan seribu ragam manifestasinya itu nampaknya sulit untuk kita hindarkan bilamana tetap saja kita menjadi Togok – Togog bukan Tokoh pengukir sejarah bangsanya// KARMANE FA DIKARASTE MAPALESYU KADYATJANA//
Renungan VII ini untuk sementara kita anggap selesai dan tak lupa kami haturkan terimakasih atas perhatian dan peran para kadang dan mohon dimaafkan khususnya bagi kadang pembaca yang tidak nunggal rasa. Semua kembali kepada Karsa dan Kuasa –NYA! Karena ‘MAN PROPOSES BUT GOD DEPOSES”, MANUSIA BERHAK MERENCANAKAN NAMUN SEGALA KEPASTIAN DI TANGAN GUSTI!
original
http://www.facebook.com/awareness.mindset?v=wall&story_fbid=134483569921066#!/notes/sriwidada-putu-gedhe-wijaya/penutup-renungan-vii-serie-i-daur-ulang-sejarah-brawijaya-v-rezim-sby-/134274739943167
Follow : 28 + 14 comment.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar